Oleh: Dosen dan Mahasiswa UIN JakartaÂ
Tujuan dakwah tercermin dalam makna ayat berikut, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. Ali Imran/3: 104).
Demikian juga dalam ayat lain, "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik" (QS. Ali Imran/3: 110).
Nabi Muhammad mengajarkan cara untuk mencapai tujuan dakwah dengan berkata, "Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman" (HR. Muslim).
Dalam retorika, dari segi isi pesan yang disampaikan ada tiga tujuan utama, yakni informatif, persuasif, dan rekreatif. Dari sisi ini, bisa ditambahkan dua tujuan lagi, yaitu edukatif dan advokatif. Kelima tujuan retorika ini terkait dengan tujuan dakwah. Amar makruf dan nahi mungkar bersifat informatif, persuasif, rekreatif, edukatif, dan advokatif.
Dari segi cara penyampaian pesan, tujuan retorika minimal ada dua, yaitu monologika dan dialogika. Monologika adalah gaya bicara monolog atau satu arah, yang umumnya disampaikan dalam pidato, ceramah, dan khutbah. Dialogika adalah gaya bicara dialogis atau dua arah.
Dalam dakwah Nabi Muhammad, banyak riwayat yang menunjukkan pendekatan dialogis ini. Pertama, dalam kitab Fathush Shamad, dikutip satu hadits dari Ibnu Umar. Ibnu Umar bercerita bahwa dalam satu perjalanan bersama Rasulullah, seorang Arab pedalaman mendekat. Nabi bertanya kepadanya, "Wahai kisanak, kamu hendak ke mana?" Orang itu menjawab, "Hendak pulang ke keluargaku". "Apakah kamu menginginkan kebaikan?" tanya Nabi. Orang itu menjawab, "Apa itu?" Nabi menjelaskan, "Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya". Orang itu bertanya, "Siapa yang akan bersaksi untuk kebenaran ucapan tersebut?" Nabi menjawab, "Pohon ini atau buah ini". Pohon tersebut lalu mendekat dan bersyahadat di hadapan Nabi, kemudian kembali ke tempat asalnya.
Kedua, dalam kitab al-Mawaidz al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar menuliskan tentang keislaman Abu Bakar yang diawali dari mimpi. Ketika berada di Syam (kini Suriah), Abu Bakar bermimpi melihat matahari dan bulan di dalam kamarnya, lalu ia merengkuhnya erat-erat. Saat terbangun, Abu Bakar mendatangi seorang pendeta Nasrani yang beriman dengan agama tauhid untuk menanyakan tafsir mimpinya. Pendeta itu menjelaskan bahwa pada masa Abu Bakar akan datang seorang nabi dari Bani Hasyim bernama Muhammad al-Amin. Setelah mendengar penjelasan pendeta tersebut, Abu Bakar merasa rindu untuk bertemu dengan Nabi di Mekah. Setibanya di Mekah, Abu Bakar segera mencari Nabi dan menyatakan keislamannya.
Ketiga, masih dalam kitab al-Mawaidz al-Usfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar mengutip sebuah hadits Nabi dari Abu Dzar al-Ghifari. Abu Dzar bertanya kepada Nabi, "Ya Rasulullah, ajarkan aku satu perbuatan yang mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka". Nabi menjawab, "Jika kamu melakukan kejelekan, ikutilah dengan kebaikan". Abu Dzar bertanya lagi, "Apakah termasuk kebaikan kalimat 'Laa Ilaaha Illaahu' itu?" Nabi menjawab, "Benar, bahkan kalimat itu adalah yang terbaik di antara yang baik".
Keempat, dari Abu Hurairah, dia mendengar Nabi bersabda, "Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga". Para sahabat bertanya, "Engkau juga tidak wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah" (HR. Bukhari).
Dari sisi pedagogik, diperkenalkan empat tujuan retorika, yakni korektif, instruktif, sugestif, dan defensif. Keempatnya dapat digunakan untuk mencapai tujuan dakwah di atas.