Opini
Â
Konflik KPK vs Polri kini kembali mencuat sejak dua komisioner KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri [2015]. Pada Penetapan tersangka tersebut ditetapkan tidak lama setelah Budi Gunawan dijadikan tersangka kasus korupsi oleh KPK. Kasus BW dan AS ini diduga merupakan upaya 'kriminalisasi' terhadap KPK karena telah menetapkan BG sebagai calon pesakitan. Namun Istilah ini memang bukan istilah baru. Istilah ini sendiri pada dasarnya merupakan terminologi ilmu Kriminologi dan ilmu Hukum Pidana yang artinya penentuan suatu perilaku yang sebelumnya tidak dipandang sebagai suatu kejahatan menjadi suatu perbuatan yang dapat dipidana.
Selain itu proses kriminalisasi dilakukan melalui langkah legislasi dengan mengatur suatu perilaku atau perbuatan tertentu sebagai tindak pidana dalam undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya yang diperbolehkan mengatur ketentuan pidana. Contoh konkrit kriminalisasi dalam pengertian ini adalah penetapan kejahatan pencucian uang. Sebelumnya, perbuatan menerima hasil kejahatan bukanlah sebuah kejahatan. Namun istilah "kriminalisasi" yang populer di masyarakat memiliki makna yang berbeda dengan istilah "kriminalisasi" yang ada dalam ilmu kriminologi maupun ilmu hukum pidana tersebut.Â
Jika dalam krimonologi dan ilmu hukum pidana terminologi "kriminalisasi" merupakan istilah biasa, maka "kriminalisasi" dalam pengertian populer memiliki makna yang negatif. Sayangnya, pengertian "kriminalisasi" dalam pengertian populer ini sendiri sepertinya belum terlalu konkrit. Pencarian definisi ini penting agar lebih jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan "kriminalisasi" dalam pengertian populer.
Selanjutnya itu perkembangan ilmu Hukum Pidana, kriminalisasi harus dilihat lebih mendalam, apakah ini merupakan permasalahan hukum atau bukan, dan apakah ada solusi terhadap permasalahan ini. Sekalipun istilah ini belum ada pengertian yang jelas, namun setidaknya istilah ini sudah digunakan sekitar awal tahun 2000. Istilah ini muncul saat seorang aktivis buruh yang dilaporkan melakukan tindak pidana dan diproses perkaranya. Tindak pidana yang dilaporkan cukup janggal, mencuri sendal jepit.Â
Pelaporan dan pengusutan pencurian sendal jepit tersebut diduga dilakukan sebagai upaya untuk meredam aktivitasnya di serikat buruh yang dipandang menganggu kepentingan pengusaha. Pengusutan perkara pencurian sendal jepit yang nilainya tak seberapa itu kemudian diistilahkan sebagai "kriminalisasi kasus perburuhan". Sejak saat itu istilah "kriminalisasi" sering digunakan.
Demikian pula kasus hukum yang melanda Thaksin, sehingga dirinya dihukum in absentia dan paspornya dicabut. Intinya, kriminalisasi adalah tindakan sepihak yang dilegitimasikan oleh kekuasaan tanpa memedulikan asas kebenaran, apalagi keadilan.
Penuh Rekayasa                                        Â
Ciri khas sebuah kriminalisasi adalah rekayasa. Di mana pun kriminalisasi dijalankan, sebuah skenario mendahului pelaksanaannya. Dalam skenario itu tentu saja terdapat rekayasa. Misalnya, kesalahan yang dicari-cari atau aturan hukum yang dipaksakan penggunaannya. Standar ganda penerapan hukum juga termasuk dalam tindakan ini. Bukan hanya itu, perluasan substansi masalah bisa saja dilakukan untuk menemukan satu celah yang dapat menjadi alasan pelanggaran, sehingga seseorang tetap saja dipidanakan.
Misalnya, seseorang semula dituduh mencuri dan ternyata tidak cukup bukti untuk tuduhan itu. Dengan demikian, seharusnya dia dibebaskan. Tapi, penahanan tetap dikenakan dan menjadikannya target pidana dengan cara sengaja mencari-cari celah hukum yang dapat menjeratnya. Jika upaya tersebut masih gagal, hukum dapat dibelokkan atau direkayasa untuk tetap menghukumnya. Misalnya, merekayasa kasus serta merekayasa alat bukti, saksi, atau menekannya atau menggunakan pasal yang diterjemahkan secara paksa.Â
Artinya, kriminalisasi sesungguhnya bukan proses, tapi target. Seseorang yang berada dalam target semacam ini tidak punya pilihan lain. Rekayasa yang paling terkenal dalam sejarah kriminalisasi pernah terjadi di Roma. Waktu itu, Kaisar Nero yang menjadi penguasa Romawi memutuskan membakar Kota Roma. Kaisar ''gila'' itu nekat melakukan itu dan menonton kebakaran hebat di seluruh penjuru Roma dari atas istananya sambil bermain musik.
Siapa yang disalahkan? Segera setelah Kota Roma rata dengan tanah, Nero memerintahkan penangkapan orang Kristen di seluruh negeri, membunuh mereka dengan sadis, dan menuduh mereka sebagai pelaku kriminal yang mengakibatkan kebakaran tersebut.
Dimanakah nurani? Kriminalisasi tidaklah mengenal nurani ataupun moralitas, juga etika. Pelaku tindakan itu bahkan tidak takut terhadap hukum agama yang mengikat setiap tindakannya kelak di akhirat. Karena itu, jika dipraktikkan dalam sebuah negara yang asas role of law-nya masih lemah, kriminalisasi bisa menjadi tren penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya, menakuti lawan politiknya, bahkan membungkam perbedaan pendapat. Juga, bisa menjadi tren para aparat penegak hukum untuk memeras orang lain memenuhi kepentingannya yang korup.
Kalau sampai kriminalisasi seperti itu terjadi di Indonesia dalam kasus-kasus yang sedang marak antara KPK dan Polri, kita perlu mawas diri. Sebab, tindakan tersebut sedang menghancurkan bangsa ini secara keseluruhan.
Ayu Kusmiran,Pendidikan Masyarakat,Patologi Sosial
Sumber Sahid, A. A. (2016). Konflik Kpk Vs Polri Jilid Iii: Kontestasi Kuasa Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. Asy-Syari'ah, 18(1), 139-148.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H