Polemik plagiarisme kini menjadi perbincangan media massa seiring dengan perkembangan dunia hiburan, salah satunya adalah film. Plagiarisme adalah tindakan penjiplakan karya orang lain yang diakui seolah-olah hasil karya sendiri. Hasil produksi film di Indonesia kerap kali diduga menjiplak, baik film luar negeri maupun film lawas.
Seperti yang sedang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, sinetron Indonesia dinilai melakukan tindakan plagiat pada salah satu serial Netflix asal Korea Selatan. Tindakan plagiarisme ini merupakan bentuk pelanggaran hak cipta.
Lalu bagaimana hukum Indonesia mengatur plagiarisme film dan pelanggaran hak cipta yang terus terjadi ini?
Seseorang dalam menciptakan suatu karya pada umumnya tidaklah dinikmati untuk dirinya sendiri, namun juga agar dapat dinikmati dan dimanfaatkan oleh orang lain. Seiring dengan perkembangannya, seringkali hal tersebut dipergunakan secara tidak bertanggung jawab. Terutama pada perkembangan penggunaan media sosial sekarang ini yang mempermudah dalam mendapatkan berbagai hiburan.
Baru-baru ini ada sebuah tayangan sinetron di Indonesia yang melakukan plagiarisme terhadap serial asal Korea Selatan, yaitu Squid Game.
Pelanggaran hak cipta atas perkara hak cipta milik serial Squid Game di Indonesia sendiri juga tidak terlepas dari beberapa faktor, diantaranya sikap masyarakat Indonesia yang kurang menghargai sebuah karya cipta, serta sikap dan keinginan dalam memperoleh keuntungan dengan cara cepat dan mudah.
Squid Game merupakan salah satu serial yang berasal dari Korea Selatan yang tayang pada pertengahan tahun 2021, dan sangat terkenal hingga ditonton sekitar 82 juta penonton dalam 28 hari pertama serta memiliki rating yang tinggi.
Oleh karena itu, hal tersebut dimanfaatkan oleh industri hiburan di Indonesia dengan membuat sinetron “Dolanan Game” yang memiliki jalan cerita yang hampir sama persis dengan serial Squid Game.
Tindakan plagiarisme yang dilakukan oleh industri hiburan di Indonesia bukanlah hal yang sekali dua kali dilakukan dan bukanlah hal yang baru.
Sebelumnya industri hiburan di Indonesia juga diketahui beberapa kali melakukan plagiat terhadap drama Korea, seperti sinetron Kau yang Berasal dari Bintang yang menjiplak My Love from The Star, Demi Cinta yang menjiplak Autumn in My Heart, Malaikat Pelindung yang menjiplak Goblin, dan masih banyak lagi.
Hal ini tentunya mengundang kekecewaan dari banyak pihak. Sebagai sesama pekerja yang menggeluti industri kreatif, seharusnya orang-orang yang bekerja di industri hiburan di Indonesia paham bagaimana sulitnya memproduksi suatu tayangan. Banyak sekali hal yang menjadi pertimbangan dalam memproduksi sebuah tayangan.
Menentukan ide dan lain sebagainya bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, mengapa plagiarisme justru menjadi hal yang tidak diindahkan oleh pelaku industri hiburan di Indonesia?
Tidak ada salahnya apabila sinetron Dolanan Game tersebut terinspirasi oleh serial Squid Game, namun yang menjadi permasalahan adalah apabila sinetron tersebut terbukti menjiplak serial Squid Game secara terang-terangan.
Apabila pihak produksi mengklaim bahwa mereka mengadaptasi serial Squid Game pun seharusnya di dalam tayangan sinetron Dolanan Game itu dicantumkan sumber inspirasinya, bukan sembarang pakai hanya karena ingin viral.
Banyak yang salah dalam mengartikan antara terinspirasi, adaptasi dan plagiasi sehingga banyak karya yang terlihat dengan jelas menjiplak karya lain berhasil sembunyi di balik topeng inspirasi dan adaptasi.
Dikarenakan maraknya plagiarisme, maka Hak Kekayaan Intelektual (HKI) berperan sangat penting dalam melindungi hasil-hasil karya cipta dari para pencipta film, lagu maupun iklan.
Permasalahan mengenai hak cipta sendiri dapat menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek yang terpenting jika dihubungkan dengan perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum.
Peraturan-peraturan mengenai perlindungan hak cipta dan segala hak-haknya yang ada di dalam hak cipta atas ciptaan milik warga negara asing baik yang sudah maupun belum diumumkan atau baik yang sudah maupun belum didaftarkan, tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan baik dalam Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia maupun peraturan atas perjanjian internasional mengenai hak cipta.
Menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC), Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dasar hukum yang mengatur terkait dengan Pelanggaran Hak Cipta adalah Pasal 112 dan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
Di dalam pasal tersebut secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan pelanggaran hak cipta, dan penggunaannya ternyata untuk komersial dapat dipidana dengan penjara serta denda sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut.
Menurut Eddy Damian (2005), ada tiga prinsip dasar “Bern Convention” dalam mengatur dasar hukum internasional tentang hak cipta.
Pertama National Treatment, yaitu ciptaan yang berasal dari dari negara peserta perjanjian harus mendapat perlindungan, kedua Automatic Protection, yaitu pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun, ketiga Independent of Protection, yaitu perlindungan hukum diberikan tanpa harus bergantung pada peraturan perundangan hukum negara asal pencipta.
Adapun unsur-unsur dalam sebuah film meliputi tema, karakter, tokoh, dialog, alur, serta latar cerita. Suatu karya dapat diduga menjiplak karya yang lain apabila terdapat persamaan yang persis di antara unsur-unsur tersebut.
Dalam mengukur kemiripan antara satu karya dengan karya yang lain digunakan metode substansial similarity, yaitu metode yang biasa dilakukan oleh pengadilan luar negeri untuk memutus perkara hak cipta dengan membandingkan tingkat kemiripan di antara dua buah karya yang berbeda.
Peristiwa ini membukakan mata kita bahwa ternyata di luar sana masih banyak orang yang belum paham mengenai hak cipta. Hak cipta ada agar semua orang dapat menghormati dan menghargai karya ciptaan orang lain, dan apabila ada yang melanggar maka ia dapat dijerat oleh pasal yang mengatur mengenai hak cipta tersebut.
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) mengenai Hak Cipta terhadap sinematografi sangatlah dibutuhkan karena maraknya tindakan-tindakan yang merugikan pemegang hak cipta atau hak eksklusif dari karyanya tersebut.
Dibutuhkan suatu aturan yang menegakkan hukum bagi hak cipta suatu karya yang dibuat oleh seseorang. Perlindungan hukum harus memberikan perlindungan hukum bagi pencipta yang paling memadai sehingga pelaku dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, administrasi maupun perdata.
Selain itu, perlu dibutuhkan pemahaman yang lebih terhadap masyarakat luas mengenai apa itu hak kekayaan intelektual serta hak cipta sehingga kejadian seperti ini dapat diminimalisir dan tidak akan terulang kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H