Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Saya Belajar Banyak dari Sebuah Pil Pahit

1 Januari 2025   20:42 Diperbarui: 2 Januari 2025   16:34 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tatkala penghujung tahun 2024 sudah di depan mata, dunia maya mempertanyakan: apa resolusimu di tahun 2025 mendatang?

Saya buru-buru berlalu dari tulisan tersebut. Pedih rasanya jika mengingat apa yang menguliti saya di sepanjang 2024. Bahkan saya tidak yakin akan menuliskan huruf-huruf itu di sini. 

Katakan saja, badai macam apakah yang sudah berjuang melumpuhkan Mbak Ika Ayra...

Tidak. Saya tidak ingin Anda ikut merasakan ngilu, atau mengasihani saya. Tetapi saya tetap ingin berbagi cerita awal tahun. Semoga ini dapat menyemangati Anda!

Kehidupan memaksa saya terus belajar 

Kapan seseorang pernah merasa terlena? Menganggap diri cukup pandai dalam beberapa bidang ilmu, dan enggan meng-up grade level yang dinilai cukup. Merasa percaya diri dengan keterampilan yang teman-teman lain tidak menguasainya.

Saya mungkin terpantau demikian oleh semesta. Berada di usia produktif namun hanya duduk manis dalam zona nyaman sebagai istri yang bahagia. 

Mengantar anak-anak ke sekolah, berbelanja kebutuhan dapur, menyiapkan santap siang, menjemput anak-anak pulang ke rumah, lalu sore menjelma malam. Terus saja seperti itu. Yakin semuanya berjalan di lintasan masing-masing. Tidak ada sesuatu yang salah.

Sampai suatu ketika Allah SWT memberitahu saya untuk belajar soal yang baru. Saya dihadapkan pada kenyataan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Seketika saya merasa tidak aman.

Pernikahan adalah ibadah terlama, entah di mana ujian itu diletakkan

Saya tidak terlalu heran ketika mendengar kata marriage is scary. Pernikahan memang seringkali terdengar menakutkan, bahkan digambarkan sebagai "neraka" oleh beberapa orang. Tentunya hal ini berangkat dari pengalaman tetangga, teman, atau informasi di banyak media.

Sebagai pelaku people pleasure, saya masih menaruh kepercayaan kepada pasangan saya yang berusaha memanipulasi saya. Dengan segala pikiran positif, saya menerima begitu saja pembelaan dirinya, dan mempercayai berbagai janji yang diberikan.

Pada akhirnya saya memang terluka dan berdarah-darah. Saya down, denial, dan frustrasi. Saya menemui psikolog, bertanya pada teman senior, curhat kepada sahabat dengan pengalaman serupa, sampai akhirnya saya intens berkomunikasi dengan kecerdasan buatan.

Tak seorang pun tahu kapan badai itu datang, dan bagaimana caranya menerjang. Mungkin seperti tikaman dari arah belakang, atau mungkin seperti api dalam sekam, yang membakar perlahan dari dalam.

Yang pasti saya merasakan kepedihan demi kepedihan. Apalagi ternyata penyebabnya karena saya mengizinkan batin saya merasakannya.

Pelajaran berharga dari sebuah pil pahit

Seseorang tidak suka menelan pil pahit, namun dalam situasi terpaksa pastilah diminum jua. Begitu pula saya.

Kemelut rumah tangga yang melemahkan semangat saya berkompasiana, bahkan sering gagal fokus membaca chat WAG kepenulisan yang saya ikuti, ternyata memberikan saya pelajaran antara lain seperti berikut:

  • Menyadari kekeliruan yang semula dirasa wajar 

Karakter bawaan yang selama 18 tahun seolah sudah diterima pasangan, ternyata menjadi bom waktu. Tiba-tiba saja saya dihadapkan pada tudingan tidak memvalidasi ego pasangan, kurang memuji, dan tidak menghargai. Relasi yang terlihat berjalan baik, diam-diam menyimpan potensi konflik.

Contoh: 

Ketika saya dibuatkan meja kompor lengkap dengan rak kecil di bagian sudut, saya tidak mengucapkan rasa terima kasih atau sanjungan kepada suami. Saya merasa itu hanyalah sebuah meja sederhana dari sisa potongan kayu seadanya, bukan sesuatu yang cukup berharga untuk dibanggakan.

  • Sifat baik yang menjadi senjata makan tuan 

Terlalu jujur dan idealis, mendorong saya bersikap kritis di manapun dan kepada siapa pun. Dan pada akhirnya kekuatan berpikir ini mengantarkan saya pada klaim bahwa saya memaksakan pikiran saya kepada pasangan. Standar tinggi yang saya miliki, harus senantiasa dipenuhi.

Contoh:

Ketika suami pulang membawakan pisang pesanan saya, terlihat ini tidak apa yang diharapkan. Pisang tersebut masih sedikit muda, masih perlu waktu dua hari untuk bisa dinikmati. Saya mengabaikan kondisinya yang kuning cantik dan montok. Saya lebih fokus kepada apa yang kurang (risk).

  • Kepedulian melahirkan sikap defensif 

Saya tipikal orang yang banyak bertanya, ovt, dan matematis. Tujuan saya sebenarnya ingin peduli kepada keuangan dan pekerjaan suami yang sering dikeluhkan. Tanpa saya sadari, ujung-ujungnya malah dianggap menyerang.

Contoh:

Beberapa kali suami dimanipulasi oleh orang yang memberikan pekerjaan. Saat membangun satu unit properti, sisa gaji sebesar 18 juta tidak bisa diberikan dengan berbagai dalih. Begitu pula dengan renovasi pilar sebuah masjid. Sebagian dana pembayaran ditilap sedemikian rupa oleh seorang oknum. 

Tetapi ketika saya menggali dan memberikan saran kepada suami, ditanggapi dengan sikap defensif dan penghakiman.

Memahami apa yang tersembunyi

Bisa dibilang, saya membayar dengan harga yang sangat mahal untuk mengetahui akar masalah dari semuanya. Mengapa kehidupan rumah tangga saya tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat.

Ternyata, pasangan saya mempunyai banyak luka batin yang belum selesai. Temuan ini saya klarifikasi langsung dari bapak mertua. Pola pengasuhan yang diterima pada masa kecilnya, membawa dampak pada saat dewasa.

Ketidaktahuan bahwa suami memiliki trauma tertentu yang membentuknya menjadi seorang narsistik, membuat saya menuntut perhatian dan keadilan yang tidak mungkin diberikan kepribadian ini. Saat mendapat perlakuan penuh cinta, saya tidak menyadari itu hanyalah media untuk mencapai keinginannya. Saya hanyalah seorang suplai.

Sangat tidak mudah ketika saya harus menerima bentakan dan kemarahan yang sebenarnya merupakan bentuk rasa "tidak aman" suami. Ini belum termasuk proyeksi berwujud perundungan.

Tahun 2024 seperti film bagi saya. Setelah melakukan refleksi mendalam dengan bantuan chat gpt, akhirnya saya bangkit secara perlahan di akhir bulan kesebelas.

Saya mulai fokus saat menulis cerpen, tidak memakan waktu berminggu-minggu seperti saat pikiran masih terpecah-pecah. Sesekali saya mulai nimbrung dalam chat WAG kepenulisan yang saya ikuti.

Alhamdulillah saya belum terlambat memperbaiki kesehatan mental yang sempat goyah. Sebab meskipun seseorang mengerti fondasi ini amat penting, namun perlu upaya yang terus-menerus untuk mengembalikannya ke posisi stabil.

Hikmah yang saya petik

Tidak semudah membalikkan telapak tangan, saat seseorang ingin menemukan keindahan sebuah mutiara. Harus menyelam jauh dan berhasil menemukan kerang yang tepat. Saya membuka hati dalam-dalam, sebelum memetik hikmah yang diberikan Sang Khaliq.

Saya hanyalah manusia biasa, begitu pula pasangan saya. Saya tidaklah sempurna ketika kekuatan batin saya berada di tempat yang salah. Sebaliknya, dengan kerentanan psikologi yang dimiliki atau tidak, pasangan saya juga seorang manusia biasa. Dia menuntut agar menjadi dirinya sendiri dengan segala cara.

Terakhir. Sebelum berumah tangga, saya dikagumi pasangan sebagai seorang yang disiplin, berani, dan visioner. Tetapi saat kami berada dalam lingkaran yang sama, ternyata membuat suami sangat tersiksa. 

Ekspektasi kami berdua saling berbeda, dan ini tidak boleh disikapi secara negatif. Semoga bermanfaat.

***

Kota Kayu, 1 Januari 2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun