Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Kisah dari Rumah: Membangun Generasi dari Hati

6 November 2024   10:26 Diperbarui: 7 November 2024   11:41 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dapat dilakukan seorang ibu di rumah? 

Akan terdengar klise jika Anda menjawabnya dengan: memasak, mencuci pakaian, mengantar anak-anak ke sekolah, sampai menjaga mereka saat sakit. 

Saat ini, sebagian ibu mulai menolak peran tradisional tersebut. Tidak heran, jika tidak kompeten berkarir di kantoran, para ibu akan melirik kesempatan mencari cuan dengan memanfaatkan pertemanan di media sosial. Mereka lazim memasarkan makanan, pakaian, bahkan produk perawatan kulit. Bisnis online tersebut terhitung sangat ramai saat ini.

Tetapi untuk ibu seperti saya, terus terang saja saya lebih senang menjalani pekerjaan domestik meski dinilai remeh-temeh bahkan tidak produktif. Dengan begitu saya bisa menjaga kedekatan dengan anak-anak. 

Bermula dari rumah 

Setiap keluarga mempunyai konsep yang berbeda tentang rumah. Bagi saya pribadi, rumah bukan sekedar tempat berteduh ataupun tempat untuk bermain ponsel dengan wifi gratis sepanjang hari. 

Jujur saja, kami tidak mempunyai bentukan rumah yang ideal. Namun saya tetap ingin menciptakan rumah sebagai tempat anak-anak menemukan nilai tentang diri mereka, serta keyakinan bahwa mereka dicintai. 

Kehadiran orang tua bagi anak-anak 

Kehadiran orang tua secara fisik dan emosional bagi anak-anaknya sangatlah penting. Tidak saja berpengaruh pada perkembangan mental anak, tetapi juga pola perilaku sehari-hari.

Bercermin dari pengalaman masa kecil suami yang mendapatkan pengabaian orang tua. Rasa kesepian dan terpinggirkan yang terjadi secara intens, membentuk luka batin yang terbawa hingga ke masa dewasa.

Selama pernikahan, saya melihat sosok anak kecil yang terperangkap dalam diri suami. Selain itu, suami selalu mencari validasi untuk bisa merasa berharga. Tentu saja kedua hal ini mengganggu relasi kami berdua.

Setali tiga uang dengan itu, semasa dulu saya dan adik dibesarkan di rumah dengan kondisi ibu yang bekerja di luar rumah. Meski kami tidak bersaudara banyak, namun orang tua tidak mempunyai cukup waktu untuk membersamai saya dan adik.

Kedua pengalaman tersebut mendorong saya memilih fungsi sebagai "penjaga sarang", dan memposisikan suami pada fungsi "pemburu" dalam rumah tangga kami.

"Penjaga sarang" bisa berarti wanita membatasi perannya hanya untuk aspek reproduksi dan merawat keluarga. Sedangkan "pemburu", mengandalkan kemampuan laki-laki sebagai pencari sumber daya di luar rumah.

Boleh jadi, prinsip yang sangat purba ini dinilai tidak relevan untuk masa sekarang. Tetapi, inilah yang mendorong saya memilih "hadir" dalam keseharian ketiga anak perempuan kami. Saya menyebutnya: membangun generasi dari hati.

Dengan menitikberatkan aspek keamanan dan kesejahteraan, berikut beberapa hal yang saya lakukan untuk ketiga anak kami:

1. Menjadi alarm hidup 

Ada banyak pengingat yang saya "bunyikan" untuk memastikan kegiatan anak-anak. Mulai dari membangunkan, mengingatkan sholat dan mengaji, membaca materi pelajaran, sampai mengingatkan jam makan dan mandi.

Saya tidak membuat list tertentu, namun kepala saya dipenuhi jadwal-jadwal tidak tertulis tentang keperluan anak-anak.

Misalnya, pada jam 14.15 anak tengah kami sudah pulang sekolah. Tetapi saya sudah menyadarinya sebelum jam dinding benar-benar menunjukkan jam pulang. Setelah menelepon untuk memastikan apakah tidak ada kegiatan tambahan, saya memesan ojek online dan mengirimkan identitas ojek online yang akan menjemputnya. Selanjutnya saya akan memantau perjalanan anak tengah melalui aplikasi telepon.

Anak bungsu (kiri) saat sima'an Qur'an|foto: Ustadzah Laras 
Anak bungsu (kiri) saat sima'an Qur'an|foto: Ustadzah Laras 

Berbeda dengan kakaknya, anak bungsu kami mempunyai program hafalan Qur'an & Hadist yang harus saya pantau. Setiap Jumat, hafalan ini akan disetorkan kepada Ustadzahnya. Dan sesuai jadwal dari tim kurikulum, para santri akan tampil bergiliran dalam kegiatan sima'an Qur'an.

Mendampingi kontingen MTQ Nasional XXX|foto: dokumentasi Smabas
Mendampingi kontingen MTQ Nasional XXX|foto: dokumentasi Smabas

Dan anak sulung kami yang sebentar lagi memasuki gerbang 17 tahun, mempunyai jadwal kegiatan yang jauh lebih padat. Mulai dari mengerjakan tugas dari guru mata pelajaran, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, sampai mengikuti lomba-lomba yang diadakan di luar sekolah. 

Meskipun anak sulung mempunyai buku pengingat tugas (kami menyebutnya buku notif), namun saya tetap mengingatkan agar tidak ada yang terlupa.

2. Menjadi suporter dari rumah

Ini berlaku untuk anak tengah dan anak sulung yang membawa ponsel pribadi ke sekolah. Tidak setiap hari, tetapi saya akan hadir dalam bentuk chat WhatsApp atau direct message untuk menuliskan kalimat semangat, doa, dan apresiasi untuk kegiatan yang sedang berlangsung di sekolah masing-masing. 

Dan saking sukanya, baik anak sulung maupun anak tengah tidak menghapus chat tersebut walau sudah cukup menggunung. Mereka terus membiarkannya untuk dibaca lagi sewaktu- waktu.

3. Menjadi pendengar

Anak-anak selalu butuh didengarkan kisah keseharian maupun apa yang dirasakan sepanjang hari. Baik senang, sedih, kecewa, atau kebingungan.

Misalnya, suatu hari anak tengah menceritakan kedatangan orang tua salah satu temannya. Teman yang selama ini memperlihatkan sikap agresif dan sulit mengontrol emosinya, ternyata benar mengalami gangguan mental. Untunglah orang tua yang bersangkutan segera mengambil langkah pengobatan dan mengurus pengunduran diri anaknya dari sekolah.

Anak tengah merasa syok karena apa yang dilihatnya di media sosial, pernah berada sangat dekat di depan matanya. 

"Mengerikan! Semuda itu sudah putus sekolah dan sekarang harus berjuang untuk sembuh!" tukasnya.

Begitulah. Dengan senang hati saya akan mendengarkan apapun yang mereka sampaikan. Sembari mereka menikmati camilannya dari kulkas, atau sambil santap siang. 

Bahkan anak sulung pernah mendatangi saya di kamar untuk bercerita pengalamannya, padahal saya baru saja terbangun dari boci, hehe... 

Hadir mendukung tim futsal sekolah|foto: dokumentasi pribadi 
Hadir mendukung tim futsal sekolah|foto: dokumentasi pribadi 

4. Menjadi penasihat yang dekat 

Anak sulung (kanan) meraih juara 2 lomba melukis dengan tema pahlawan|foto: dokumentasi pribadi 
Anak sulung (kanan) meraih juara 2 lomba melukis dengan tema pahlawan|foto: dokumentasi pribadi 

Bulan kemarin, bagi anak sulung menjadi bulan yang sama sibuknya dengan bulan Agustus yang telah lewat. 

Itu karena dia aktif terlibat dalam berbagai lomba yang digelar untuk memperingati bulan Bahasa yang jatuh pada bulan diikrarkannya Sumpah Pemuda. Masih ditambah dengan mengikuti berbagai rapat MPK dan OSIS yang membuat anak sulung semakin menikmati berbicara di depan orang banyak.

Sebagai ibu, selain memberikan apresiasi, saya juga akan memberikan nasihat yang dibutuhkan. Tidak muluk-muluk, tetapi anak-anak dapat menerimanya dengan baik.

Anak sulung mengikuti lomba melukis mewakili kelasnya|foto: dokumentasi Calysta
Anak sulung mengikuti lomba melukis mewakili kelasnya|foto: dokumentasi Calysta

"Ternyata, ada peserta yang sudah selesai melukis padahal peserta lain baru selesai membuat sketsa!" curhat anak sulung suatu sore.

"Mungkin dia berbakat, dan sudah sering melukis?" saya menebak.

"Iya, dia memang biasa ikut lomba lukis sejak SMP, dan dia juga ikut les melukis...."

Belakangan diketahui peserta tersebut sama sekali tidak mendapat juara karena lukisannya dianggap out of the box alias keluar dari tema.

"Menang dan kalah dalam sebuah lomba, itu perkara biasa. Bahkan dari kekalahan, kita bisa introspeksi dan belajar dari kesalahan," ujar saya menasihati.

Dalam kesempatan lain, anak sulung dengan semangat menceritakan rating kelasnya meraih tangga 2 dari 19 kelas yang ada. Dalam hal ini saya pun mengingatkan bahwa esensi dari semuanya bukanlah tentang juara, tetapi bagaimana generasi muda dapat menggali potensi dirinya dan menikmati kegiatan positif yang dijalani.

Anak sulung (paling kiri) berfoto dengan rekannya setelah memenangi lomba paskibra|foto: dokumentasi pribadi 
Anak sulung (paling kiri) berfoto dengan rekannya setelah memenangi lomba paskibra|foto: dokumentasi pribadi 

5. Menjadi penyokong dana

"Ibu, aku cuma dapat tiga puluh ribu dari kas kelas untuk beli cat lukis..." keluh anak sulung suatu malam. Dia membutuhkan tambahan uang untuk melengkapi warna cat lukis yang sudah ada.

Tentu saja sebagai ibu saya akan merogoh kocek untuk membuatnya percaya diri dengan kelengkapan yang dia butuhkan. 

Kompleksitas remaja 

Memahami minat yang sangat random dari anak sulung, saya pun segera memberi arahan. Bahwa dia boleh mencoba kemampuannya di berbagai bidang seperti olahraga, seni, bahasa, dan organisasi. Namun, menjadi tekun, tetap santun, dan selalu disiplin adalah target utama. Semua itu akan menjadi modal untuk membangun pribadi yang lebih baik ke depannya.

Demikianlah, kisah dari rumah. Bagaimana saya hadir dan berusaha menciptakan fondasi yang kuat bagi anak-anak. Kiranya bukan semata-mata untuk menolak budaya patriarki.

Semoga, dengan semua usaha ini, saya bisa memberikan mereka kepercayaan diri untuk menghadapi dunia yang penuh tantangan. Memberikan kehangatan cinta yang membuat mereka merasa berharga, apapun situasinya 

Kemanapun mereka akan terbang, semoga kelak akan selalu rindu pulang untuk menemui ibu abahnya.

Salam hangat!

Kota Kayu, 6 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun