"Kau memang pembunuh! Tidak ada orang yang percaya padamu! Iblis pun tidak akan tega menghilangkan nyawa ibunya sendiri!"
Kalimat menghujat itu terus kudengar, bahkan dari balik pagar kayu rumah ibu saat orang-orang itu lewat berjalan kaki. Setiap kali mereka mengatakannya, seperti ada yang menusuk kepalaku sampai begitu ngilu.Â
Aku mengurungkan niatku untuk memetik beberapa kuntum melati yang dulu ditanam ibu, dan memutuskan masuk rumah dengan langkah terburu-buru. Sesampainya di dalam, aku mengintip si pemilik suara. Perasaanku begitu cemas, hingga tanpa sadar menahan napas seperti maling.Â
Mereka sudah pergi. Syukurlah!Â
Biasanya mereka memanggil-manggil namaku dengan embel-embel yang buruk di belakangnya. Mereka tidak pernah bosan melontarkan hujatan dan menganggap aku sudah membunuh ibu.
Aku terduduk di lantai.Â
Rasanya sedih sekali karena kondisi seperti ini terus terjadi, bahkan setahun setelah ibu tiada. Entah kemana aku harus mengadu.Â
Seandainya ibu masih ada, orang-orang itu pasti tidak akan menuduhku melakukannya. Tidak ada yang tahu tentang kematian seseorang.
Demi Tuhan, aku merawat ibu sakit dengan sepenuh hatiku. Kedua adikku, Mey dan Tio tidak sabar menghadapi kerasnya hati ibu. Sedangkan aku, kupilih mengalah dan menahan diri saat berada di dekat ibu.Â
Ibu adalah wanita yang melahirkan kami ke dunia. Merawat kami dengan penuh kasih sayang. Bagi ibu, anak-anaknya laksana permata yang sangat berharga.
Aku maklum dengan keadaan ibu saat itu. Mungkin beliau merasakan sakit yang teramat sangat sehingga keseimbangan emosinya hilang. Mungkin ibu sangat menderita dengan jadwal cuci darah dua kali seminggu. Semua itu pasti terasa berat bagi ibu.
Dan aku menurut saja saat ibu meminta ini-itu. Apapun yang bisa membuat ibu senang, aku mau melakukannya. Termasuk saat ibu tidak mau kutinggal, aku ikhlas resign di tempatku bekerja. Sekalipun ketika itu kami membutuhkan biaya tidak sedikit untuk cuci darah dan pengobatan lainnya.
Aku bangkit dan berjalan pelan menuju tangga lantai atas. Aku merasa sangat lelah dan ingin beristirahat di kamar. Aku berbaring dan memejamkan mata, sampai berangsur-angsur tenang kembali.Â
Seharusnya aku tidak menginjakkan kakiku di luar. Seharusnya aku menunggu Ratih atau Edo datang. Mereka tidak akan keberatan jika kumintai tolong mengambilkan bunga melati di halaman.Â
Aku memandangi tiga kuntum bunga melati yang tadi kudapatkan. Semasa hidupnya, ibu sangat suka bunga yang menurutku berbau mistik. Biasanya ibu meletakkan bunga-bunga itu di sekitar bantal.Â
"Biar ayahmu nyaman di rumah, dan bisa pulas tidurnya karena bau melati ini sangat menenangkan," begitu kata ibu dulu.Â
Setelah ibu meninggal, aku mulai meniru memunguti melati yang mekar dan meletakkannya di sekitar foto ibu di meja. Memang benar, ruang kamar menjadi wangi semerbak seharian. Dan bukan hanya rasa kantuk yang datang.Â
Aku juga merasa berada di dimensi lain. Sadar atau tidak, aku merasa bertemu ibu di suatu tempat yang indah.
Ibu baik-baik saja, tidak seperti yang dikatakan tetangga-tetangga kami yang usil. Ibu nampak sehat dan senyumnya selalu mengembang. Aku memanggil-manggil ibu dan berkata rindu pada ibu. Alih-alih merentangkan tangan untuk menyambut pelukanku, beliau tampak tidak menginginkan kehadiranku di tempat itu.Â
Aku memutuskan untuk pergi, meski dengan perasaan sedih. Sekali lagi, aku akan menuruti keinginan ibu, apapun itu.
Seketika ada kelegaan dan kekuatan yang merasuk ke dalam jiwaku, saat melihat ibu tersenyum. Aku seperti mendapatkan energi dari ibu.Â
"Mama?"
Aku membuka mata, tersadar, saat merasakan seseorang berada di dekatku. Ternyata anak pertamaku sudah pulang.
"Mama tertidur lelap, Ratih tidak ingin membangunkan tadi. Â Mama sudah makan? Ini Ratih bawa bubur ayam kesukaan mama..."
Aku mencium aroma yang tidak asing. Aroma nasi putih dan kuah bening dengan rasa kaldu yang enak. Makanan kesukaan ibu saat sakitnya, kini juga menjadi kegemaranku.
"Apa tadi ada yang mengganggu mama lagi?"
Aku menggeleng.
Ratih selalu bertanya seperti ini setiap pulang kerja. Jelas Ratih merasa khawatir, apalagi karena aku harus minum obat penenang jika sulit mengendalikan perasaanku.
"Mama tidak apa-apa, Sayang," sahutku, sambil menikmati suapannya.
"Kalau orang-orang itu berani mengganggu mama, mama sudah tidak peduli. Tidak ada yang harus ditakuti. Belum tentu anak mereka nanti, mau merawat saat mereka tua. Anak-anak mereka telah melihat bagaimana orang tuanya menjadi sombong dan jahat!" kataku, entah bagaimana kata-kata itu bisa meluncur dari mulutku.
Sesaat alis Ratih berkerut, namun aku meminta suapan berikutnya. Saat makananku habis, dia memelukku begitu hangat.
***
Kota Kayu, 14 Oktober 2024
Cerpen Ika Ayra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H