Dan aku menurut saja saat ibu meminta ini-itu. Apapun yang bisa membuat ibu senang, aku mau melakukannya. Termasuk saat ibu tidak mau kutinggal, aku ikhlas resign di tempatku bekerja. Sekalipun ketika itu kami membutuhkan biaya tidak sedikit untuk cuci darah dan pengobatan lainnya.
Aku bangkit dan berjalan pelan menuju tangga lantai atas. Aku merasa sangat lelah dan ingin beristirahat di kamar. Aku berbaring dan memejamkan mata, sampai berangsur-angsur tenang kembali.Â
Seharusnya aku tidak menginjakkan kakiku di luar. Seharusnya aku menunggu Ratih atau Edo datang. Mereka tidak akan keberatan jika kumintai tolong mengambilkan bunga melati di halaman.Â
Aku memandangi tiga kuntum bunga melati yang tadi kudapatkan. Semasa hidupnya, ibu sangat suka bunga yang menurutku berbau mistik. Biasanya ibu meletakkan bunga-bunga itu di sekitar bantal.Â
"Biar ayahmu nyaman di rumah, dan bisa pulas tidurnya karena bau melati ini sangat menenangkan," begitu kata ibu dulu.Â
Setelah ibu meninggal, aku mulai meniru memunguti melati yang mekar dan meletakkannya di sekitar foto ibu di meja. Memang benar, ruang kamar menjadi wangi semerbak seharian. Dan bukan hanya rasa kantuk yang datang.Â
Aku juga merasa berada di dimensi lain. Sadar atau tidak, aku merasa bertemu ibu di suatu tempat yang indah.
Ibu baik-baik saja, tidak seperti yang dikatakan tetangga-tetangga kami yang usil. Ibu nampak sehat dan senyumnya selalu mengembang. Aku memanggil-manggil ibu dan berkata rindu pada ibu. Alih-alih merentangkan tangan untuk menyambut pelukanku, beliau tampak tidak menginginkan kehadiranku di tempat itu.Â
Aku memutuskan untuk pergi, meski dengan perasaan sedih. Sekali lagi, aku akan menuruti keinginan ibu, apapun itu.
Seketika ada kelegaan dan kekuatan yang merasuk ke dalam jiwaku, saat melihat ibu tersenyum. Aku seperti mendapatkan energi dari ibu.Â
"Mama?"