Cukup lama saya menyimpan jawaban singkat ini. Sejujurnya saya tak begitu paham poin yang dimaksud. Sampai suatu hari saya mengalami cobaan dalam berumah tangga.Â
Saya ingat ketika itu saya membagikan kesedihan dan patah hati saya kepada beliau berdua. Saya pun mendapat kalimat penyejuk seperti berikut:
"Jangan membahas dan mengungkit kesalahan suami. Jika dia sudah memutuskan untuk pulang di tengah-tengah keluarga, terima dengan lapang dada sambil kita memperbaiki diri."
Nasihat ini terus bersemayam dalam benak saya. Memancing saya untuk belajar konsep memaafkan lahir batin, dan penerimaan tentang orang lain. Belakangan saya memahami ini sebagai bentuk kelenturan jiwa.Â
Selang setahun kemudian, badai kembali datang. Saya berusaha bertahan meski dengan kedua tangan dan kaki gemetar. Saya terus menyalakan lilin harapan meski cuaca semakin tidak memungkinkan.
Kepada beliau berdua, saya kembali membagikan cerita sedih. Tidak lain dan tidak bukan karena keyakinan betapa tangguhnya Bunda Roselina dan Ayahanda dalam mengarungi kehidupan.
Kembali saya mendapatkan mutiara berharga. Dengan bijak Ayahanda berkata:Â
"Memperbaiki kapal yang bocor, jauh lebih baik ketimbang menunggu kapal menjadi pecah berantakan!"
Dan prinsip inilah yang menghidupkan harapan saya kembali. Mengapa saya harus menyerah, jika semua dapat diperbaiki. Hal ini senada dengan saran satu dua sahabat dekat.
Demikianlah, 60 tahun perjalanan cinta dua sejoli yang begitu kuat, begitu hangat, telah menginspirasi kehidupan saya pribadi.Â
Love, telah menjadi komitmen bagi beliau berdua. Saling menolong, saling mengasihi sepanjang hayat.