Tak terasa air mataku mulai menggenang di pelupuk mata, menandai kerinduanku pada kasih sayang nini. Besok, aku akan ke kubur nini untuk berziarah dan mendoakannya.
*
Sudah beberapa hari aku tak mendengar suara burung kecil yang biasanya ramai di luar jendela dapur. Pohon singkong abah sudah dicabut semua dan tanahnya diratakan. Sebenarnya belum waktunya dipanen, tetapi uma dan para tetangga perlu tempat untuk membuat tungku masak.Â
Suasana rumah sangat ramai belakangan ini. Aku berdiam di kamar untuk memenuhi masa pingitan yang tinggal dua hari lagi.Â
Besok, aku akan menjalani prosesi batimung. Tujuannya agar mempelai tercium wangi di hari pernikahan. Julak Inur sudah mempersiapkan sarai wangi dan bahan lainnya. Beliau adalah pelestari adat pernikahan suku Banjar. Dulunya, nini lah yang melayani warga kampung untuk batimung jelang hari pernikahan. Sekarang pekerjaan ini ditekuni Julak Inur, kakak kandung abah.
Tiba-tiba mataku melihat teko loreng nini di atas meja dekat ranjang besi.Â
Sejak kapan teko itu ada di situ? Sudah sejak pagi aku di sini dan belum ada orang yang masuk kamar pingitan. Jam makan siang pun masih sejam lagi dan belum ada yang mengantarkan nasi.
Aku menyentuh tekonya. Masih hangat. Berarti belum terlalu lama diletakkan di sini. Mungkin saja aku tidak menyadarinya karena sibuk melamun tadi.
Aku menuang kopi di gelas kaca. Hmm, ini adalah kopi buatan nini. Aku hafal bagaimana racikan tangan nini dan rasa otentiknya.
Tapi masalah ini pernah kuceritakan pada uma. Uma merasa aneh karena sudah lama tak membuat kopi sejak abah sakit lambung. Lalu siapa yang melakukannya? Apakah nini hadir belakangan ini untuk merestui pernikahanku? Ah, aku benar-benar rindu pada nini. Al Fatihah untuk nini...
***