*
Pukul empat sore. Paulina termenung dengan wajah sendu.Â
Dia sudah menyiapkan kue pisang hazelnut kesukaan anak lelakinya, dan menyeduh teh hijau kesukaan menantunya. Namun hujan membuat hari menjadi dingin dan terlalu abu-abu. Paulina merasa mereka tidak akan datang seperti rencana semula.
Paulina terus menunggu. Matanya menatap hujan di luar jendela dapurnya. Dia teringat kenangan saat anak-anaknya merengek agar diizinkan bermain di luar. Mereka berlarian saat melihat ibunya mengangguk pelan. Anak-anak Paulina menari dan tertawa menikmati basah di tubuhnya. Paulina memandang dengan senyum kecil, lalu melanjutkan pekerjaannya yang masih menumpuk.
Paulina susah memejamkan matanya saat malam hari. Seluruh tubuhnya terasa sakit karena kelelahan. Pakaian kotor seolah diproduksi setiap hari di dapurnya. Dia mengosongkan keranjang pakaian namun segera terisi handuk mandi, sprei, seragam sekolah, dan kaus kaki.Â
Paulina sekarang mengalihkan pandangannya ke dekat mesin cuci. Keranjang pakaian itu tak pernah penuh lagi seperti dulu. Anak-anak Paulina telah meninggalkan sarang mereka, terbang menyongsong dunia di luar sana, dan dia menjelma induk burung yang kesepian.
Paulina mulai memotong kue di piringnya dengan sendok kecil di tangamnya. Dia membawanya ke depan hidungnya, menikmati betapa wangi kue pisang buatannya. Bebas gluten akan memberinya perpanjangan usia untuk menggendong cucu-cucunya.
"Aku telah kehilangan mereka," Paulina bergumam.Â
Dia menelan kue lezatnya perlahan. Paulina sadar semua ibu yang mencintai anaknya akan mengalami ini. Perasaan sedih yang akan menggerogoti pikiran dan menghilangkan selera makan. Lalu dia akan semakin dikalahkan penyakit yang biasa dihadapi lansia.
*
Sepasang mata bayi kecil menatap mata Paulina. Mata mereka sangat mirip. Itu adalah wajah Paulina meski tanpa kerut-kerut tua miliknya.Â