Aku terpaku sendirian menatap hujan yang masih deras. Hujan itu seperti ditumpahkan dari langit. Suasana jalan mendadak sepi, padahal malam masih lama.
Aku tak ingin pulang ke kontrakan, meski Donley menawarkan mengantar dengan mobilnya. Bukan karena semacam rasa tak enak, sebab Donley pria yang baik hati. Tapi tentu saja karena aku berharap kau benar-benar menemuiku seperti  janjimu.Â
Jujur saja, setelah enam bulan kita sepakat berpisah aku merasa rindu juga. Bagaimanapun kau pernah ada dalam kehidupanku. Dan kita pernah bersama-sama membangun mimpi yang sekarang porak-poranda.
"Maaf, aku terlambat. Sheryl sedang sakit. Dia ingin aku menungguinya sampai dia benar-benar tidur."
Ternyata kau tidak berubah. Kau selalu mengorbankan diriku dan berlindung di balik nama putri kita. Bisa saja kan itu karena kau sibuk menelepon wanita itu? Siapa namanya. Oh ya, Lissa.
"Kalau kau mengira aku berbohong, telepon saja putri kita besok pagi saat dia sudah bangun," katamu lagi.
Aku menatap meja-meja yang kosong di depanku. Meja yang semakin basah karena angin menyapu ke semua arah. Sore tadi kota Lovtown seperti dilepaskan dari musim kering yang panjang.
"Ini, aku bawakan roti yang kubuat sendiri. Isian di dalamnya adalah rasa favoritmu. Apalagi kalau bukan abon daging dengan bumbu rempah pedas..."
Kau mengeluarkan bungkusan dari dalam saku mantelmu, lalu membukanya dengan tangan sedikit gemetar.Â
Tampaknya kau kedinginan. Cukup jauh memang jarak dari rumah kita dulu ke tempatku bekerja sekarang. Kau pasti nekad menerobos hujan agar aku mengasihanimu, bukan?
Kau salah.Â
Kali ini aku tak akan menawarimu kopi panas sebagai tanda empati. Lagipula hari ini kami hanya huka sampai jam empat sore.Â
"Aku akan memakannya nanti di rumah," jawabku.
"Kau tinggal tak jauh dari sini?"
"Apa kau ingin mampir? Tapi aku tidak ingin  kembali kepadamu."
"Kenapa? Kau sudah menemukan penggantiku?"
Aku diam lagi.Â
Sebenarnya aku hanya tak ingin kita menjadi dekat kembali. Aku tak ingin menjadi pasanganmu lagi setelah pengkhianatan yang kau lakukan. Cukup kau menyakitiku.
"Sebenarnya aku datang ke sini untuk menceritakan sesuatu. Tapi mungkin kau sudah tidak membutuhkan itu lagi."
Kau membalikkan badan dan bersiap pergi.
"Tunggu!"
"Siapa yang sudah memberitahumu aku di sini?"
"Halim."Â
Kau bergegas melanjutkan langkahmu, tapi aku harus mencegahmu.
"Aku akan mendengarkan apa yang ingin kau katakan. Bisakah kau pulang nanti saja? Hujan masih..."
Percuma. Kau tak menggubrisku dan terus berlalu. Kau laki-laki keras kepala yang sulit dikendalikan.Â
*
Suasana kafe begitu ramai. Semua meja penuh terisi pengunjung. Bahkan di bagian luar yang terbuka dan sesekali ditiupi debu jalan, hanya menyisakan satu meja kosong paling ujung.
Ini adalah hari kelima belas sejak kau datang bersama hujan, lalu pergi dengan hati yang marah. Lebih tepatnya cemburu. Sayangnya semua itu hanya ketakutan dalam pikiranmu semata.
Benar kata orang, jodoh akan habis bila memang sudah waktunya. Dan pertengkaran demi pertengkaran kita tak melihat berapa pasang telinga anak kita yang terpaksa mendengarkan dengan muak. Semua karena isi kepalamu yang kau paksakan menjadi masalah. Mungkin untuk menutupi kesalahan yang justru kau buat sendiri.
Meski perpisahan kita akan membuka jalan mulus untuk wanita itu, namun di sisi lain aku berharap bisa lepas dari tuduhan dan prasangka yang kerap kau lontarkan. Setidaknya aku tidak lagi terlihat menyedihkan karena harus menerima semuanya atas nama kebahagiaan anak-anak kita.
Aku melirik selintas jam di dinding yang seperti beradu lari. Tiba-tiba hari semakin gelap saja dan meja-meja di depanku perlahan berubah sepi.Â
"Kita tutup setengah jam lagi!" Donley memperingati para pegawai.Â
Wajah mereka cerah seketika. Sedikit bonus akan segera mengisi kantong.
"Starla, ada tamu yang mencarimu di sana."
"Tamu?" jantungku berdegup, menduga kalau itu kau. Kubayangkan sebungkus nasi goreng jamur buatanmu untuk kita nikmati berdua.
Tak bisa kupungkiri, sisi romantismu selalu berhasil mencairkan permusuhan kita. Aku selalu luluh saat kau mulai meraih tanganku ke meja makan.
Langkahku terhenti tak jauh dari seorang tamu di meja nomor enam. Menengok kanan kiri sebelum menyapa dengan sopan.
Pria itu membuka topi dan kacamatanya, lalu menatapku lurus-lurus.Â
Tidak salah lagi. Dia Halim, sahabatmu yang pernah kau ceritakan bekerja di kantor penerbitan tak jauh dari sini.
"Anda menemui saya? Ada yang bisa saya..."
"Saya datang membawa kabar tidak enak. Saya minta maaf."
"Tentang apa, yaa?"
"Topan mengalami kecelakaan di tempat dia bekerja. Dia menghembuskan napas terakhir, saat dalam perjalanan ke rumah sakit...."
Jantungku berhenti.Â
Terlihat kegelapan di luar memupus keramaian yang sebelumnya riuh. Rasanya semakin sulit menyimpan rindu ini.
***
Kota Kayu, 26 Oktober 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H