Hari ini, hampir lupa kalau saya genap tiga tahun bergabung di Kompasiana. Baru tersadar ketika sebuah "komentar tak sedap" membunyikan lonceng notifikasi pada akun saya.
terjemahan kah?
https://kraut-kopf.de/aufsland-rensow/
saya baru baca 2 paragraf awal dari cerpen aslinya yang bahasa Jerman itu. mirip sih 😬
Sesaat saya berpikir, sudah selama itu akhirnya ada Kompasianer lawas, pernah menyabet The Best Fiksianer, yang terburu-buru berkomentar demikian di bawah cerpen headline saya.
Sedih? Pastinya!
Saya sedih kenapa saya terlambat mengenal sosok ini. Seandainya dulu kami bareng-bareng aktif nyerpen di Kompasiana, mungkin kami bisa saling berinteraksi dan mengapresiasi. Seperti yang terjadi saat ini antara saya dan sejumlah Kompasianer yang tergabung dalam grup Pencinta Cerpen yang digagas cerpenis Edward Horas Simanjuntak.
Setelah sepuluh tahun rehat dari menulis, Mbak Des hadir dengan cerpen terbarunya, sekaligus menemukan cerpen Hantu di Sekolah Tua Rensow yang saya tulis.
Sejujurnya cerpen ini lahir setelah saya membaca sebuah artikel berbahasa Jerman di sebuah situs liburan.Â
Pada saat itu saya begitu terpukau dengan perasaan penulisnya. Dia menggambarkan tempat yang dikunjunginya sebagai sesuatu yang indah meski berasal dari masa lampau dan dengan sentuhan yang sangat sederhana saja. Seperti judul yang tertulis di sana, Keindahan Kesederhanaan Sebuah Perjalanan.
Setelah menanggapi komentar ini dengan sopan, saya berpikir apakah pilihan saya untuk menyenangi gaya terjemahan ketika menulis cerpen di blog publik Kompasiana, adalah salah? Seketika sifat overthinking yang saya miliki muncul.Â
Sebagus itukah karya saya sampai pembaca memerhatikan lebih? Apakah ini bentuk apresiasi ataukah ketidakpuasan? Mengapa seseorang tersebut bisa memberikan komentar lanjutan yang lebih parah seakan-akan dia tidak terima? Bukankah saya menyertakan nama situs di bawah gambar dan keterangan bahwa saya terinspirasi darinya? Apakah itu artinya dia meragukan kerja admin sebelum dia sendiri membandingkan kedua karya tersebut?
Saya mencoba membuka pikiran untuk tidak menganggap seseorang melakukan hal yang tidak baik terhadap saya. Mungkin ini adalah cara Mbak Des membuka perkenalan dan pertemanan dengan saya. Siapa tahu?