Sudah banyak perawat yang dikirim untuk mengurusku, rasanya tidak satupun yang menyamai perhatian gadis itu. Kuakui Miranda sangat tulus meski aku memperlakukan tidak baik.
*
Sore itu, suasana rumah tampak sepi.Â
Aku memaksa diri mengalahkan ego dan menulis sebuah pertanyaan. Jika gadis itu datang dengan nampan tehnya, aku akan menunjukkan pertanyaanku dan membiarkan gadis itu berceloteh di depanku.
Miranda memberikan senyum terbaiknya saat muncul dari balik pintu kaca. Seperti biasa, dia memelukku beberapa saat.Â
Entah mengapa tiba-tiba mataku menghangat dan ingin menangis.
Buru-buru kutunjukkan papan kecil yang tadi kutulisi. Gadis itu meraihnya dan membaca di dalam hati.Â
"Sayang, mengapa kau tidak tahu merangkai bunga di meja?"
Miranda menatapku penuh keheranan. Dia berusaha keras mencerna maksud pertanyaanku dan mencari jawaban di kepalanya.
Kemudian gadis itu mulai menangis. Memelukku erat tanpa satupun kata yang diucapkannya.Â
Setelah cukup lama, gadis itu melepaskan dirinya dan menghapus air mata kami berdua.
"Mama, aku sangat ingin Mama mengajariku banyak hal di rumah ini. Itu sebabnya aku merawat Mama. Aku ingin mengerjakan segala sesuatu di rumah ini seperti yang Mama inginkan. Aku juga ingin membuat kue-kue yang manis bersama Mama. Mencoba semua resep sup yang enak untuk mama. Cepatlah sembuh untukku, Mama. Aku sayang Mama...."