"Hai! Apa kau lapar?
Aku tak punya makanan. Tapi kalau kau mau, kau bisa tinggal bersamaku karena kita akan berteman ...."
Dia menatap sambil bersuara pelan.Â
Saya mendekatkan tangan, lalu menyentuh kepalanya dan dia tetap di posisinya. Saya memutuskan membawanya tinggal di rumah susun yang saya tempati. Dia bisa menikmati matahari pagi seraya duduk dekat pot bunga. Dia pasti suka.
Sejak itu dan ini adalah hari ke delapan belas karena saya menandainya pada kalender. Saya memberinya nama dan tempat tempat tidur dari sterofom bekas. Saya menyelimutinya dengan wol hangat yang sudah kekecilan dan memberi susu setiap malam.
Saat itulah Matt mengetuk pintu dengan sekotak pizza setelah sekian lama tak mengirim chat atau menelepon. Saya merasa dia melupakanku demi Lisa tetapi saya tidak harus merasa terluka.
"Kau baik-baik saja?" katanya masih degan suara lembut yang dulu. Dia menatap ke dalam mataku dan saya mengamati wajahnya.
Setelah kami duduk di sofa kecil saya tak tahan untuk mengatakan sesuatu padanya, tapi dia lebih dulu berkomentar tentang teman baruku yang asyik tertidur.
"Kau tidak bisa memeliharanya. Kau punya masalah pernapasan serius, bukan?"
Entah saya sedikit mengangguk atau tidak sama sekali. Saya justru melihat Matt begitu kurus di balik jaketnya karena tulang-tulang lehernya lebih menonjol.
"Kau begitu pucat, Matt!" saya tak tahan lagi untuk mengatakannya.