Pria yang menikahiku, adalah sepupu dariku dan delapan saudaraku, yang memang terpaut sebanyak usia ibuku. Kami menikah beberapa bulan setelah istrinya, Nyonya Flinton, meninggal dunia karena sakit. Dan ini pun gagasan dari anak-anak Tuan Marco serta persetujuan anggota keluarga lainnya.
Tapi begitu memasuki rumah besar ini, hawa tidak nyaman terutama di sebuah ruangan cukup mengusikku namun sulit kuceritakan. Tidak kepada ibuku, atau siapapun dari keluargaku.
Dan hari ini adalah minggu kedelapan yang membuatku tidak tahan lagi. Aku berencana akan menceritakan semuanya kepada suamiku karena hari ini dia libur bekerja. Maka diam-diam aku mulai mengawasi ruangan yang paling mencurigakan itu.Â
Menurut suamiku, ruangan yang menghadap ke arah barat ini adalah tempat mendiang istrinya menghabiskan waktu dengan menjahit berbagai pakaian pesta untuk wanita lalu menjualnya.Â
Saat itu anak-anak mereka sudah lebih besar dan nyonya Flinton sudah tidak perlu lagi menunggui mereka di sekolah ataupun membacakan dongeng pada malam hari.Â
Sebenarnya aku menyukai ruangan ini karena bayangan matahari sore masuk ke dalamnya.Â
Sejak kecil aku suka melihat bayangan memanjang yang ditimbulkannya. Benda apa saja yang kuletakkan dekat jendela akan memunculkan siluet gelap di permukaan lantai dan itu rasanya romantis sekali.
Dulu, aku menghibur adikku dengan membentuk dua kepalan tanganku menjadi kepala hewan sebagai pengganti boneka tangan.Â
Meski sampai satu per satu adikku menikah, bayangan matahari sore tak pernah meninggalkan kamarku. Dan tanpa kuduga, setelah menikah, bayangan matahari sore kutemukan lagi di ruangan ini.
Konon, semasa sakitnya nyonya Flinton meminta ruangan ini tetap dibersihkan dan jangan ada barang-barang yang dipindahkan ataupun diganti. Sayang, ajal lebih dulu datang menjemput dan dia tidak pernah bertemu ruangan favoritnya lagi.
"Sayang?" tiba-tiba saja Tuan Marco sudah memelukku dari belakang. Tampaknya aku sudah terlalu lama meninggalkannya dan menunda waktu sarapan kami.
Sekilas aku melirik ke arah luar jendela, memperhatikan apakah ada sesosok bayangan gelap bersembunyi dan mengamatiku sambil berpura-pura membaca buku.Â
"Kenapa kau terlihat tegang. Apa kau kurang sehat?"
Setelah yakin bayangan itu tidak ada di sana, aku menatap suamiku lalu menggeleng.
"Apa ada sesuatu yang membuatmu cemas?"
Aku menimbang-nimbang. Bila aku menceritakan sosok misterius yang kerap mengawasiku, apakah suamiku akan percaya atau justru akan menganggap itu hanya lelucon?
Bagaimana kalau tuan Marco akan menganggap aku berhalusinasi? Orang seusia dirinya tidak akan mempercayai hal-hal seperti ini, bukan? Tapi bagaimana jika ...
"Apa kau melihat Anne di sana?" tuan Marco menggandeng tanganku mendekati jendela kaca.Â
"Maksud Tuan, ada seseorang di kebun belakang itu?" aku sedikit kaget. Ternyata ada pegawai yang belum kuketahui di sini. Mungkin keluarga dari tukang kebunnya. Mungkin anak atau istrinya.
"Dia adalah putri bungsu kami yang mengalami masalah dan tidak dapat bertemu orang lain secara normal. Dia akan ketakutan bila seseorang tersenyum atau menyapa ke arahnya. Dia lebih suka mengintip-intip dari balik korden atau pohon jika di halaman."
Ya ampun! Aku merasa lega.
Setidaknya bayangan gelap yang seringkali melintas itu bukanlah hantu nyonya Flinton yang cemburu dari alam sana. Ini hanya gadis dengan gangguan perasaan yang seharusnya bisa diatasi.
"Tuan, izinkan aku menemuinya dan aku akan menjadi teman baru untuknya.
***
Kota Kayu, 18 Februari 2023
Cerpen Ayra Amirah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H