Siang itu adalah hari istimewa bagi sahabatku, Pinkan. Sudah jauh hari aku berjanji akan menghadiri acara wisudanya. Ini kulakukan karena Pinkan sangat terpukul saat ibundanya meninggal beberapa bulan lalu. Sementara ayahnya sudah mendahului saat dia masih kecil.
Siapa sangka di hari yang sama kau mengalami kecelakaan kerja dan dilarikan ke rumah sakit. Namun karena kau sudah ditangani oleh dokter, aku memilih meneruskan perjalanan yang tinggal beberapa menit lagi. Aku ingin memberikan dukungan kepada Pinkan yang sebatang kara.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Mobilku menabrak pagar tembok sebuah bangunan dan aku tak sadarkan diri.
Keesokan harinya, dokter menyampaikan berita mengejutkan. Kakiku mengalami trauma dan lumpuh permanen. Aku pun harus menyerah dan duduk di atas kursi roda!
"Aku tidak ingin punya istri yang cacat. Bagaimana kau akan melahirkan anak-anak kita? Bagaimana kau akan merawatnya? Bagaimana anak-anak kita menahan rasa malu di hadapan teman-temannya?"
*
Pada bulan kesebelas, terdengar suara ketukan pintu membuyarkan lamunan. Aku bergegas menekan tombol otomatis untuk melihat siapa yang datang.
"Dewi, bagaimana kabarmu?" sebentuk senyum dan tatapan penuh rindu yang amat kukenal.
"Maafkan aku karena salah selama ini. Aku meninggalkanmu padahal kau butuh dukungan saat itu, kan?"
Tiba-tiba kau sudah berlutut dan memberikan setangkai mawar untukku.
"Kau mau kan rujuk denganku?"