Seorang istri. Dia tidak menyadari suaminya di belakangnya, memperhatikan dengan penuh rasa cemburu.Â
Tapi tiba-tiba saja dia berkata, "Mengapa tidak memperbaiki kereta dorong anak kita? Jangan terlalu sibuk bekerja, kita harus jalan-jalan meski hanya ke taman."
*
Aku duduk di sofa merah, menunggu reaksimu beberapa saat lagi.Â
Kau benar-benar tenggelam dalam buku yang dibaca. Entah kalimat apa lagi yang akan terlontar setelah ini. Menyalahkan suami yang bekerja siang malam untuk keluarganya? Seperti biasa?
"Duduklah dekat sini."Â
Aku bergeming. Tak pasti apakah akan membahasnya denganmu. Lagipula aku tahu aku hanya ingin mendapat rasa hormat darimu.
"Bisakah kau memperhatikan suamimu, seperti yang tidak kau lakukan akhir-akhir ini?
Kau memutar dudukmu, menatapku dengan serius.
"Kalau kau tak bisa menerimaku, kenapa tidak mencari wanita lain? Pria selalu ingin menceraikan istrinya karena kesalahan mereka, bukan?"
Aku membuang muka.Â
Ini bukan keributan yang pertama. Lussy tidak akan pernah suka jika aku memaksanya.Â
Mungkin dia cukup keibuan untuk balita dan bayi kami, tetapi dia sama sekali tidak hangat seperti saat kami bulan madu.
"Dengar, jika kau tidak suka aku melakukan me time dengan cara membaca buku, sebaiknya kau mulai mencari wanita lain.Â
Sebab aku juga tak ingin hobiku dikalahkan sifat pria yang terlalu banyak menuntut."
Selesai berkata begitu, kau beranjak dan terdengar pintu dibanting.
Aku memperhatikan galeri foto di smart phoneku.Â
Aku dan Riana tertawa bahagia. Sudah beberapa minggu ini kami saling memenuhi kebutuhan satu sama lain.
***
Cerpen Ayra Amirah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H