"Anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang selalu bertengkar, memiliki kadar kortisol rata-rata lebih tinggi daripada anak-anak yang tinggal di keluarga yang lebih damai. Akibatnya, mereka sering menjadi lelah dan sakit, kurang bermain, dan kurang tidur." -Mark Flinn & Barry England
Kejadian pertama
Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa orang tua murid berkumpul di sekolah untuk menerima raport hasil belajar anak-anak kami.Â
Setelah selesai, kami masih meluangkan waktu untuk berbincang-bincang.Â
Kemudian salah seorang di antaranya mengatakan sudah bercerai dari sang suami enam bulan yang lalu. Karena itulah dia tidak pernah terlibat hadir dalam kegiatan paguyuban kelas. Saat melihat beberapa foto dalam grup perpesanan orang tua murid, dia merasa iri dan sedih karena harus bekerja mencari nafkah bagi kelima anaknya.
Kejadian kedua
Suatu pagi yang cerah, seorang gadis remaja duduk dengan murung di bangku taman. Tiba-tiba saya merasa terpanggil duduk di sisinya, sekedar menjadi temannya bicara.Â
Sebut saja namanya Karina. Gadis lima belas tahun ini sedang sedih karena orang tuanya bertengkar. Dia mendengar ayahnya akan menceraikan ibunya karena ingin menikah dengan majikannya, seorang janda 55 tahun.
Saya bertanya apa pendapatnya tentang masalah ini yang membuat dia terlihat murung.
"Aku tidak keberatan karena ibu sudah lama mendapat perlakuan tidak adil dari ayah. Ibu sering ditekan, dipojokkan, bahkan sering dituduh selingkuh, padahal ayahlah yang melakukannya saat aku masih berusia enam tahun. Ibu sudah memberi kesempatan dan menerima ayah saat dikhianati selingkuhannya. Sekarang ibu sudah pantas bercerai dengan ayah. Tetapi aku sedih karena keluarga kami berantakan."
Saya terhenyak, dan terdiam mendengarnya.
Para suami, bersabarlah sebanyak 70 kali dalam sehari terhadap keluargamu
Hari ini saya membuka beberapa referensi, baik pendekatan secara agama Islam maupun pendekatan secara psikologi.
Sering kita mendengar kisah pada zaman Nabi SAW, ketika Abu Bakar bermaksud mengetuk pintu rumah Nabi SAW untuk mengadu, ternyata Abu Bakar justru mendengar sendiri di depan pintu bahwa Nabi yang mulia itu sedang mendapat keluhan dari istrinya, namun beliau hanya diam di hadapan istrinya.Â
Tanpa bermaksud membenarkan sikap istri yang suka memarahi suaminya, dan meski seorang suami bukanlah seorang nabi yang memiliki kemuliaan akhlak sedemikian; saya ingin mengajak masing-masing kita agar memperbaiki cara berumah tangga dan berkomunikasi dengan pasangan. Sebab di atas semua itu, ada kebaikan anak-anak yang penting untuk dijaga kedua orang tuanya.
Kunci untuk menghadapi karakter dan kelemahan istri adalah sabar.Â
Nabi SAW bersabar mendengarkan celoteh istrinya karena menghormati dan memahami istrinya yaitu Aisyah r.a dan Hafsah.Â
Di hadapan kedua istrinya, beliau tidak memperingatkan tentang kedudukannya sebagai kekasih Allah SWT, sebagai Utusan Allah SWT, dan juga sebagai suami yang patut mendapatkan penghormatan dari istrinya. Sementara kita mengetahui salah satu dakwah beliau mengatakan para istri wajib taat kepada suaminya.Â
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.488, menyebutkan berapa kali para suami memaafkan pembantu di rumah tangganya, dalam konteks ini termasuk istri. Selengkapnya di sini.
Dampak psikis bagi anak-anakÂ
Sebuah keluarga adalah tempat anak-anak bisa mendapatkan kasih sayang dan rasa aman. Di sanalah mereka tumbuh, berkembang, dan belajar pertama kali.
Jika suasana rumah diliputi ketegangan karena ayah dan ibu intens terlibat cekcok, apalagi jika disertai teriakan, bentakan, makian, maupun suara benda-benda dibanting dan dilemparkan, maka tidak heran jika kelak anak-anak akan menjelma pribadi yang kasar, bengis, dan kejam.
Dari situs pelayanan kementerian kesehatan disebutkan dampak pertengkaran/konflik orang tua yaitu
- Anak merasa sedih, kecewa, bahkan malu di hadapan teman-temannya. Pada akhirnya ia merasa tidak percaya diri di tengah pertemanannya sendiri
- Anak merasa berjarak dengan orang tua, baik secara fisik maupun emosional
- Anak merasa kesepian, dan merasakan penolakan dari keluarga
- Anak menjadi depresi secara mental, apatis, dan memberontak. Melawan kepada guru, tidak menaati aturan sekolah, sering bolos, dan tidak semangat belajar
- Secara psikososial ia kerap mencari masalah dengan temannya, membandingkan dirinya, dan sebagainya.Â
Cepat atau lambat hal ini akan mendorong potensi tindak kriminal bagi anak di masa-masa mendatang. Mulanya mereka akan terjerumus pada narkoba dan minum alkohol. Bayangkan jika ini menimpa jumlah besar anak-anak Indonesia, bagaimana dengan masa depan negeri tercinta?
Dilaporkan pada tahun 2017 saja, Indonesia memiliki angka perceraian tertinggi di Asia Pasifik.
Pada tahun 2015, perceraian di Indonesia tercatat sebanyak 350 ribu kasus. Namun pada 2020, presentasenya meningkat sebanyak 6,4 persen. Dan pada tahun 2021 sudah menjadi 580 ribu kasus. Selengkapnya di sini.
Bersikaplah dewasa selaku orang tua
Para ahli mengatakan, kelahiran anak dalam sebuah perkawinan dapat memancing timbulnya beberapa konflik di antara pasangan suami istri.
Banyak perbedaan pandangan dan ego yang kemudian naik ke permukaan. Jika keduanya gagal mengambil sikap terbaik, maka pertengkaran demi pertengkaran akan timbul silih berganti bahkan bisa saja di luar kendali.
Tetapi jika Anda dapat bersikap lebih dewasa dan bijaksana, banyak melakukan diskusi bersama pasangan dengan sama-sama menurunkan ego, maka anak-anak justru akan belajar hal-hal baik dari sini. Mereka akan memahami bagaimana menyelesaikan masalah secara damai dan penuh kekeluargaan.
Semoga bermanfaat.
***
Kota Kayu, 1 Januari 2023
Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H