Sudah kukatakan pada diriku, jangan menangis. Sebab mereka tidak akan mengerti.Â
Aku benar-benar telah jatuh cinta kepadamu, dengan alasan apapun. Rela menghabiskan waktu memikirkanmu. Dan kurasa hatiku berkilau-kilau seperti bintang malam.
Aku menjadi hebat dan kuat. Tidak lagi cengeng. Tidak suka mengeluh. Kau suka.
Kau berbinar melihat senyumku, yang tergeletak di atas daun-daun murbei. Menempel di sana, sepanjang musim.
Hari-hariku penuh semangat. Penuh energi untuk melompat. Berkelana tanpa kelelahan.Â
Saat itu hidupku hampir tidak ada bedanya dengan suara terompet tahun baru. Meriah dan renyah.
Lalu sesuatu terjadi, sesuatu memisahkan kau dan aku.
Sedihnya. Kita tak lagi bergandengan tangan. Mereka tak lagi berbisik iri. Keraguan tentang kita seakan terjawab.
Kau tiba-tiba lenyap, lepas dari genggaman tanganku. Seperti dongeng tentang matahari yang pulang ke peraduannya. Tak bisa ditunda walau hanya semenit.
Aku terus mencari dengan sisa tenagaku. Tapi aku tak menemukanmu. Dimana kekasih yang dulu memujaku?
Sebuah ruang gelap tercipta ketika aku menangisi kepergianmu. Di tengah-tengah derai air mata, kusaksikan dunia menjadi gelap. Benar-benar gelap dan hitam.
Apakah mata ini berubah buta?Â
Untuk beberapa lama aku tertidur. Sepertinya hanya itu yang bisa dilakukan orang yang putus asa. Mencoba melupakan sesuatu yang baru terjadi. Â
Samar kudengar kau membisikkan namaku. Seolah tak ingin yang lain terbangun. Kau mengajakku ke suatu tempat.
Aku terpana. Pohon-pohon ditiup angin semilir. Burung terbang melintasi bukit tanpa ilalang. Aku melayang.
"Ulurkan tanganmu ke atas seperti ini," katamu. "Pejamkan matamu dan rasakan tarikan nafasmu. Perlahan ayunkan mengikuti irama di telingamu."
Aku menuruti semua kata-katamu. Aku melakukan semuanya sebaik mungkin. Aku tak ingin membuatmu marah, lalu pergi meninggalkan kepingan hati yang dipenuhi namamu.
Perlahan aku mendengar suara tetabuhan. Aku melakukan tarian yang sama dengan mereka. Orang-orang dari zaman yang tak kukenal.Â
Aroma magis menguar masuk, menekan saraf otak. Â
Orang-orang terus menari. Sesekali riuh oleh lolongan dan hentak kaki.
Kau mendekap ragaku.Â
Darahku bergolak, napas terengah, detak jantung lari gemuruh.Â
Aku tetap memejam mata. Seperti kau tidur dan bermimpi.
Bawa aku menari bersamamu.
Kota Kayu, 31 Desember 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H