Aku menyaksikan ayahku memukul kepala ibuku dengan patung kuda yang terpajang di atas meja. Kira-kira saat itu usiaku enam tahun, dan baru sepekan mengenal dunia sekolah.
Aku tak terlalu mengerti persoalan yang menjebak orang tuaku dalam pertengkaran. Aku mendengar mereka berdebat dengan serius hingga bola mata ibuku mencuat dan nyaris terlepas.Â
Setelah itu, aku kehilangan sosok ibuku karena dia tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit. Sedangkan ayahku menyerahkan diri kepada polisi dan meminta maaf kepadaku sambil menangis.
Hari-hari selanjutnya aku dibesarkan Bibi Em, adik ayah yang single parent dengan satu anak laki-lakinya, Joe. Joe lebih tua dua tahun dariku. Dia sangat manja dan selalu merebut apapun dariku.
Ketika dewasa aku memutuskan keluar dari rumah Bibi Em karena wanita itu telah meninggal akibat serangan jantung. Sempat kudengar Joe menyindir kenapa aku tidak pergi dari dulu dan tinggal di kolong jembatan seperti para gelandangan.
Sebenarnya ayahku sudah keluar dari penjara beberapa tahun yang lalu, hanya saja aku enggan menemuinya. Bagiku tindakan ayah memukul kepala ibu menunjukkan dia adalah seorang pengecut. Harusnya dia dibiarkan membusuk bersama orang-orang jahat lainnya di sana.
*
Seperti biasa, menjelang akhir tahun kampus kami mengadakan kegiatan di alam. Kali ini mereka memilih berkemah dekat sungai Shannon yang pemandangannya luar biasa.Â
Panitia dan peserta terlihat antusias, termasuk Laura, tunanganku. Selain membawa kamera hadiah dari mamanya, dia juga memakai sepatu pemberianku dari hasil kerjaku. Senang rasanya melihat Laura bersemangat pada hari itu.
Sayangnya dugaanku salah bahwa kami semua akan menutup tahun ini dengan penuh kegembiraan. Dengan api unggun dan trekking yang menyenangkan misalnya.Â