Laki-laki itu memberingas, menganggap jerit kesakitanku seperti lolongan anjing jalanan. Aku pernah melihatnya saat kantongan yang dibawanya diendus tanpa permisi. Dia melemparkan sepotong roti dari dalamnya, tapi hewan itu sudah tak berdaya.Â
"Tolong jangan dekati aku, Tuan." Aku menggigil.Â
Dari sorot matanya terlihat iblis jahat siap melumat apa saja. Dia terus melangkah ke arahku, semakin dekat, sampai aku bisa mencium bau keringatnya.
Aku melihat ke segala sisi. Hanya ada jendela kaca yang kuncinya berkarat. Percuma. Laki-laki itu pasti tidak akan membiarkanku lolos.Â
Pada malam-malam sebelum ini, laki-laki itu menyeret seorang wanita turun dari mobilnya. Mereka basah tersiram hujan, tapi terus menerobos masuk ke ruangan tengah. Terdengar wanita itu meronta-ronta seperti orang gila.Â
Dia memangsa buruannya. Bahkan kepada sekretarisnya yang bernama Bertha. Lalu menghabisi nyawanya.
"Sadarlah, aku hanya gadis cacat..."
Dia melemparkan ludahnya. Lalu menyeringai seperti singa kelaparan.Â
Air mataku mengalir. Dia melucuti dan merobek pakaianku.Â
"Kau tidak bisa seenaknya, Tuan!"
"Kenapa?!" Akhirnya dia bersuara.