Salju sudah lama turun di jalan-jalan, dan menimpa atap bangunan di desa asli yang kuno. Musim dingin tidak cocok untukku, sebab ide-ide untuk pekerjaanku ikut menjadi beku.
Aku berjalan cepat, sambil menenteng belanjaan. Ingin segera tiba di rumah, menikmati zosui dengan telur asin setengah matang.
Apakah wanita itu sudah sarapan?Â
Aku teringat Aiseta. Wajah tirusnya yang murung, dan rambut hitam yang menjuntai. Ada perempuan kecil di sisinya, berusia sekitar lima tahun. Sepasang mata di bawah poni rambutnya, selalu menatap seperti aku orang asing.
Aku terus berjalan, menahan rasa dingin yang parah. Beberapa penginapan, ryokan, dan hotel bergaya Barat, juga membeku. Mungkin begitu pula dengan perasaan Aiseta.Â
Seminggu yang lalu kami sempat bertemu. Aku mengajaknya minum teh karena itu adalah hari ulang tahun putrinya dan aku sudah menyiapkan kado.Â
Dalam tulisan-tulisanku, kukatakan wanita adalah makhluk penyayang dan murah hati. Tetapi tidak dengan Aiseta. Dia mengabaikan permohonan maafku, dengan mengalihkan pandangannya pada bunga sakura yang diam. Lalu pulang, tanpa mempedulikan kakak ipar sepertiku.
Masalah ini mungkin belum lama, dua tahun yang lalu.Â
Saat itu, aku kehabisan akal untuk menolak cinta seseorang. Dia sepertinya terobsesi dengan novel yang kutulis. Larut dalam alur cerita yang kubuat, sampai membuatnya mencari tahu dimana aku tinggal.Â
Sebenarnya, wanita tak perlu memaksa pria beristri untuk mulai memperhatikannya, bukan? Lagipula ada banyak deadline yang harus kukejar.