Mungkin semua orang bisa belajar dari apapun yang dia temui. Mungkin juga dia tidak perlu belajar semua itu karena hidupnya berjalan begitu sederhana.Â
Kubaca berulang-ulang tulisanku.Â
Aku sengaja tidak menyimpannya dalam buku harian, hanya bagian paling belakang buku bersampul hijau tua untuk menulis berbagai tugas serta jadwal lainnya.
Bulan mendatang, aku akan meninggalkan Angers, salah satu pusat intelektual Paris dengan dua kampus kerennya.
Entah apa rasanya jika aku sudah jauh dari sini. Bahkan aku yakin akan merindukan nyonya Elaine juga. Dia adalah pemilik kios penyewaan 'Buku-buku Bodoh' yang pernah kuceritakan.
*
Kalian tahu, terakhir aku menemui wanita itu, saat dia merayakan hari ulang tahunnya. Kupikir dia mengadakan sebuah pesta dengan kue musim panas seperti yang lainnya.Â
Ternyata sama sekali bukan. Selain aku, hanya ada kekasihnya yang bernama Bean, dan kucing-kucing yang selalu datang pada jam mereka lapar.
Jangan bayangkan Tuan Bean adalah pria penuh wibawa dan sukses. Dia sama konyolnya dengan nyonya Elaine. Tapi mereka tampak bahagia dan cocok.
Kehidupan nyonya Elaine banyak menarik perhatianku, meski belum tentu bagi orang lain.Â
Lihat saja wajahnya yang sering dihiasi senyum jenaka, meski kesan orang yang pertama kali melihatnya, mungkin lebih tentang bagaimana dia berpakaian.
"Hanya kita bertiga, tidak ada tamu lainnya?" tanyaku, saat wanita itu bersiap di depan tart kecil dan lilin.
Dia meruncingkan bibirnya, seolah ingin mencium pipiku. Hff, dia pasti gemas dengan pertanyaanku.
"Kenapa kita harus mengundang banyak orang, jika itu menyulitkan, Sayang? Nikmati saja apa yang diberikan Tuhan," katanya.
Dan tahu bagaimana mimik Tuan Bean untuk mendukung kekasihnya? Dia menaikkan kedua alisnya, menarik bibir jauh-jauh, serta mengangkat sendok-garpu di kedua tangannya.
Tidak ada sikap tidak sopan bagi nyonya Elaine. Dia hanya tersenyum sambil membentuk matanya serupa pijar bintang.
*
Ritme kerja untuk menemukan ahli dalam Community Plant Variety Office cukup membuat jenuh. Tapi aku segera terhibur dengan melihat tingkahnya.
Tiga ekor kucing menunggu giliran mendapatkan secangkir susu dari nyonya Elaine. Salah satu dari mereka yang kutahu bernama Lolie, merengek dengan tak sabar seperti anak kecil.
Tuan Bean lalu mengeluarkan keripik dari kantong jasnya dan memberikan kepada hewan-hewan itu. Mereka makan dengan lahap meski sudah mendapat hampir sepertiga tart dari nyonya Elaine.
Rasanya sedikit membingungkan karena negara ini punya julukan "juara Eropa" dalam hal menelantarkan hewan peliharaan.
Itu benar. Selama aku belajar di sini, tak terhitung berapa banyak "pemandangan" yang kutemukan.Â
Tempat penitipan hewan mengatakan para keluarga itu tak pernah datang lagi mengambil mereka.Â
Hewan yang telah menua membuat mereka tidak tertarik dan beralih dengan yang baru. Para petugas mendapat laporan tentang hewan yang diikat di tiang lampu tetapi pemiliknya sudah pergi dari sana.
Maka, begitu nyonya Elaine menambahkan wine dalam gelasku, aku memberanikan diri bertanya kepadanya. "Jika boleh bertanya, sebenarnya apa yang membuat Anda sangat menyayangi kucing-kucing ini, Nyonya?"
Wanita itu menatap seakan heran dengan pertanyaanku. Dia merapatkan bibir tipisnya yang berwarna merah pucat, dan berhenti mengunyah makanan yang tadi disuapnya. Seperti biasa, dia juga menyorongkan ujung dagunya dan memberi kesan manja.
"Karena mereka sama seperti kita. Tentunya mereka juga ingin diperlakukan dengan baik, bukan?"
Hmm... sebuah jawaban yang humanis.
"Dia ingin menebus kesalahannya saat remaja. Dia pernah menembak mereka karena taruhan!"
"Bean? Apa yang kau bicarakan?"
*
Kalian tahu, nyonya Elaine menjadi sangat sedikit bicara setelah itu. Dia tersinggung atau merasa diperlakukan dengan jahat di hari ulang tahunnya.Â
Kelihatannya mereka tidak akan berbaikan setelah ini. Entahlah apakah ini sama artinya nyonya Elaine gagal menikah lagi?
Mungkin semua orang bisa belajar dari apapun yang dia temui. Mungkin juga dia tidak perlu belajar semua itu karena hidupnya berjalan begitu sederhana.
Aku membaca sekali lagi tulisanku.
Kurasa kita harus belajar dari kejadian ini.
***
Kota Kayu, 13 Oktober 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI