Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Menulis Membawamu pada Hidup yang Lebih Baik

17 September 2022   09:09 Diperbarui: 18 September 2022   05:49 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada banyak hal yang bisa kita sebutkan, tentang hidup yang lebih baik. Bergantung dari sudut mana kita menilainya. Atau di titik mana posisi kita saat ini.

Jika kamu seorang ambisius, maka hidup yang lebih baik akan identik dengan pencapaian cita-cita yang diidam-idamkan. Karir, hunian, popularitas, dan lainnya.

Tetapi jika kamu seorang pemimpi, pengkhayal, pengumpul jikalau, maka hidup yang lebih baik justru ketika kamu menyadari bahwa kamu harus berubah. Carilah hidup yang nyata dan indah!

Saya pribadi, termasuk tipe yang manakah?

Menjalani keseharian sebagai mama muda yang itu ke itu lagi, membuat saya merasa bosan. Kehilangan semangat. Stres.

Suatu hari, saya meraih ponsel yang sebenarnya diperuntukkan bagi suami dan anak-anak saya juga. Bukan milik pribadi yang bisa saya bawa-bawa sesuka hati.

Saya memutuskan untuk membuat blog menulis. Kurang lebih bagaimana saya memperlakukan sebuah diary.

Menurut teori para ahli, menulis adalah sebuah terapi jiwa. Itu pula yang saya rasakan ketika itu. Saya mulai menuangkan isi pikiran, kehendak, bahkan harapan saya tentang banyak hal.

Apa saya bahagia? Belum.

Suatu saat, saya "diperkenalkan" dengan beyond blogging Kompasiana. Saat itu saya membuka link postingan Kompasianer Bunda Lesterina Purba. Ternyata untuk menanggapi, saya harus mendaftar terlebih dahulu.

Adalah cerpenis Y. Edward Horas yang ketika itu mem-follow saya pertama kali, mengikuti postingan cerpen yang saya unggah, memberikan apresiasi sesama penulis, sampai akhirnya saya mengenal sahabat-sahabat yang baik lainnya di sini.

Hidup saya berubah. Benar-benar berubah.

Setiap hari, saya tidak lupa membuka "pintu" yang saya sematkan pada layar utama ponsel. Dengan akun yang saya miliki, saya mulai menorehkan rute literasi sederhana.

Selain mendapatkan banyak wawasan, informasi, pastinya saya mendapat banyak sahabat  di sini. Sebut saja yang mula-mula hadir adalah Mbak Ari Budiyanti, Teh Yana Haudy, Mastah Budi Susilo, Mbak Hennie Triana, Mbak Siska Artati, Pak Katedrarajawen, dan tentu saja duo maestro Ayah Tjiptadinata Effendi dan Bunda Roselina.

Hidup yang lebih baik adalah...

Sebagai seorang yang mudah sekali bosan, kegiatan menulis di Kompasiana telah memberi saya solusi. Hidup saya menjadi lebih baik.

Menulis berpengaruh pada kontrol emosi

Jangan kaget. 

Menulis, seperti diketahui, mempunyai aturan tertentu untuk bisa selesai dan tersaji secara indah dan menarik. Baik itu tulisan ilmiah, opini, lebih lagi kanal fiksi.

Menulis bukanlah kegiatan serampangan yang dilakukan membabi-buta. Di dalamnya termuat kaidah bahasa dan tata cara yang berjalan seirama nuansa hati. Maka tidak heran banyak yang mengatakan menulis memerlukan suasana tenang dan mood yang bagus.

Menulis, melatih kesabaran karena apa yang dituangkan harus disusun secara runut, teratur dan jelas. Tanpa tiga hal ini, mustahil pembaca akan memahami maksud dari tulisan. 

Untuk itu, dalam bimbingan menulis di sekolah, siswa diajarkan untuk membuat kerangka karangan. Diperkenalkan apa itu pikiran utama dan apa pula pikiran penjelas.

Menulis dapat melatih insting

Jika para penulis ditanya, mengapa dia bisa mempunyai ide demikian dalam tulisannya? Atau, mengapa semua hal dapat dijadikan bahan tulisan olehnya? Jawabannya, seorang penulis telah terlatih insting dan kepekaan terhadap apa yang dialami, dilihat, dan didengarnya.

Semakin sering dan semakin banyak menulis, berarti seseorang sudah mengasah bagaimana dia memilih sudut pandang tulisan. Tidak heran, satu topik yang sama dapat melahirkan puluhan bahkan ratusan judul dari para Kompasianer.

Menulis membuat mencintai buku

Berapa banyak buku yang dimiliki seseorang sebelum dia aktif menulis?

Dulu, semasa kecil saya membaca majalah Bobo yang dibeli bapak di pasar loak. Dan saat remaja, saya membaca majalah Anita, Aneka, Kawanku, Nida, bahkan Femina.

Saya sangat menikmati aktivitas membaca, entah berapa jam dalam seminggu. Yang pasti saya lebih memilih membaca ketimbang ngobrol atau nge-mall.

Saya menjadi anggota aktif di perpustakaan sekolah, Umum, dan Daerah Samarinda. Dari sana saya menemukan hal-hal baru. Seperti kata pepatah, "buku adalah jendela dunia".

Foto: dokpri
Foto: dokpri
Seiring waktu, sahabat di rumah bersama ini berkenan menghadiahi saya buku karya mereka. Sebut saja Mbak Ari Budiyanti, Bu Guru Tati Ajeng Saidah, Pak Pujangga, Ali Musri Syam, dan tentu tidak ketinggalan panutan kita bersama, Ayah Tjiptadinata dan Bunda Roselina.

Ada beberapa penulis lain yang juga saya banggakan, tetapi belum beruntung memiliki karya mereka. Di antaranya idola saya, Pak Ikhwanul Halim. 

Apa artinya?

Artinya saya semakin mencintai buku. Semakin ingin menambah apa yang saya baca. Saya menikmati hari-hari saya tanpa perasaan bosan seperti sebelumnya.

Menulis mendatangkan banyak sahabat  

Nah, ini adalah bonus yang sangat luar biasa bagi saya pribadi. Saling memberi dukungan serta interaksi via perpesanan atau media sosial lainnya, telah menautkan dan mempererat kemistri, kecocokan satu dengan lainnya.

Foto Siska Artati diolah kembali
Foto Siska Artati diolah kembali

Adalah Kompasianer Prajna Dewi yang mendapat tugas sebagai pembicara tunggal dalam seminar parenting yang berlangsung tadi malam di hotel Midtown Samarinda.

Kami belum lama dipertemukan dalam grup perpesanan, baru hitungan bulan. Tetapi sejak awal, kami merasa satu frekuensi, satu hati.

Bersama Kompasianer Siska Artati, kami bersepakat mengadakan kopi darat di sela-sela waktu beliau. Jujur, durasinya juga tidak genap satu jam, tetapi sangat berkesan dan membahagiakan. Alhamdulillah.

Di lobby hotel, kepada tim penyelenggara acara, Mbak Prajna Dewi memperkenalkan kami sebagai teman sesama penulis. Bukan yang lain.

Wow!

Mendapat pengakuan seperti ini, saya merasa mendapat lebih dari sebuah sanjungan biasa. Saya merasa hidup saya berjalan lebih baik dari sebelumnya.

Bagaimana denganmu, Sahabat?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun