Nayla, nama yang bagus. Tapi sayang, sejak masuk kosan, hatinya tak karuan. Rasa canggung, gugup, takut, tak percaya pada diri sendiri, apalagi teman.
Nayla dan aku bersebelahan kamar. Untungnya dia mau percaya padaku.Â
Kemudian, kami menemukan kecocokan satu sama lain. Saat aku menghibur hatinya, dia mau mendengarkan. Saat aku kelaparan, dia ringan memesan makanan. Selera kami pun mirip.
Sebenarnya masih ada tiga mahasiswi lain di sini. Faya, May, juga Dinda. Tapi Nayla hanya mau diajak keluar olehku. Sebabnya itu tadi, dia percaya pada teman sepertiku.
Kalau mau ditelusuri, sebenarnya kami bertolak belakang. Dia dari keluarga berada, dan punya saudara. Sementara aku hanya punya mama yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhanku.
Sebagai anak semata wayang, aku sama sekali tak merasa dimanja. Jauh beda dengan Nayla. Sampai lulus SMU ibunya masih menyisir rambutnya, bahkan aku melihat sendiri ibunya masih memakaikan jaket sebelum kami berangkat ke kampus.
Sebaliknya, mama sudah mengajarkan bagaimana hidup mandiri dan disiplin sejak aku kecil. Aku tak punya papa, juga saudara, itu alasan yang selalu mama lontarkan. Aku harus menolong diri sendiri saat mama kerja.
Ibu Nayla sangat cantik, dan hatinya sangat baik. Aku melihatnya seperti bidadari yang menyamar menjadi manusia. Dan kepadaku, ibunya selalu menyapa penuh perhatian.
"Bagaimana kuliah hari ini, Nak Kesuma? Dosennya ada yang galak, nggak?"
"Ada sih, Tan," jawabku tersipu. "Tapi galaknya masih aman terkendali, kok..."
"Ibu mau bilang sama Pak Tiur jangan galak-galak, gitu?" Nayla keluar dari kamar mandi dan langsung nimbrung.