Memperkenalkan Emily Arrow dalam cerpen ini, silahkan tonton video berikut:
Emily Arrow
Sebenarnya aku tipe pria yang hanya mengerjakan apa yang menjadi tugasku di gedung perpustakaan ini. Tetapi saat jam makan siang, Ibu Kepala menyampaikan bahwa aku dibutuhkan di rumahnya sore ini.
Maka aku menghentikan kendaraanku dekat dengan gerbang, sementara sedan yang dikendarai Ibu Kepala terus masuk ke halaman.Â
Ternyata dugaanku salah. Rumah mereka hanya terlihat luas tapi tak bisa dibilang hebat. Berbeda dengan wajahnya yang aristokrat dan cara berjalannya yang anggun.Â
"Supir kami sedang tidak masuk kerja, ada urusan keluarga katanya. Mari silahkan..." kata wanita itu sambil membuka pintu.
Sekali lagi aku salah. Ibu Kepala berbicara biasa saja, tanpa nada angkuh seperti sorot mata coklatnya.
"Joe bisa memeriksa lampu kamar saya, kan yaa? Jangan khawatir ada tangga dan peralatan di sana, sudah disiapkan..."
Apa? Memperbaiki lampu? Kenapa tidak memanggil tukang listrik? Aku garuk-garuk kepala.
"Tolong buat minuman untuk Joe, ya Bik. Saya istirahat di halaman belakang aja..." katanya saat seseorang menghampiri.
"Baik Bu."
"Joe, saya tinggal yaa. Kalau perlu apa-apa, ini ada Bik Sum..."
Aku mencoba menenangkan diri.Â
Sebagai pria sejati, menolong wanita adalah kewajiban. Dan mengapa aku harus mematri diri sebagai pegawai gedung perpustakaan? Apa aku terlalu berharga untuk mengerjakan jenis pekerjaan lainnya?
"Halo, Joe..." suara renyah itu, dengan nada yang enak didengar.
"Hai, Emily! Aku tahu kalian, maksudku Ibu Kepala dan dirimu, adalah tante dan keponakan." sahutku sedikit lebih berani dari sebelumnya.
Sepertinya benih-benih cinta mulai tumbuh dan menjelma menjadi Joe yang tampan dan pemberani. Aku akan menaklukkan hati gadis itu, bagaimanapun caranya.
"Jadi kau mencariku sejak tadi?"Â
Aku terhenyak. Apakah gadis ini merasa bahagia dengan kata-kataku barusan?
"Lupakan saja. Silahkan lanjutkan pekerjaanmu, dan nanti temui aku di ruang galeri yah..."
*
Seorang pria mempunyai semacam feeling tentang gadis yang pantas untuk menjadi pasangannya kelak. Dan ini juga yang kurasakan saat pikiranku menolak kehadiran Emily. Ternyata cinta tak mau pergi begitu saja, aku malah memburu dan menikmatinya.
Begitulah, sejak kedatanganku ke rumah Ibu Kepala, aku dan Emily menjadi semakin akrab. Ternyata aku dipertemukan dengan gadis berbakat yang mencintai anak-anak dan musik sekaligus.
Kapanpun Emily menghubungi untuk meminta bantuan, Joe si pria sejati selalu siap.Â
Mengumpulkan anak-anak untuk mendengarkannya bermain musik dan menyanyi, membacakan dongeng, berkebun, bahkan bermain apa saja layaknya anak play group.
Bahkan saat tiba waktu Emily harus mengenalkan literasi kepada anak-anak balita yang dibawa pengunjung perpustakaan, dengan senang hati aku turut mendampingi dan memberi semangat.
Aku bahkan mendapat ilmu yang menarik, bagaimana cara mendongeng untuk anak-anak usia tiga sampai lima tahun.Â
Program dari Ibu Kepala tampaknya diterima masyarakat dan berhasil mencapai target. Setidaknya ini menurut pengamatanku. Buku fisik menjadi pilihan menarik di era sekarang.Â
Para orang tua hanya perlu meluangkan waktu untuk mengajarkan nilai budi pekerti kepada anak-anak. Sebenarnya ini poinnya. Dan orang-orang seperti Emily patut mendapat dukungan, bukan?
Dua tahun kemudian...
"Kau sudah dibutakan oleh cinta!" Jamal, rekan sekerjaku meledek.
"Gadis seperti Emily punya seribu rencana untuk hidupnya. Dan kau bukan bagian di dalamnya..."
Aku tercenung. Kata-kata Jamal ada benarnya.Â
Sejauh ini kami memang belum jadian. Gadis itu sibuk dengan projek Buku Musik Ukulele untu Anak-anak yang menurutnya paling sederhana untuk dipelajari anak-anak di rumah.
Emily terus membuat persiapan demi persiapan, lalu rekaman. Sekarang dia ditangani pihak profesional yang kelak melambungkan namanya.Â
Dia kini dikenal sebagai guru ukulele bagi anak-anak. Peserta di kelas musiknya kini jauh bertambah. Kehidupan anak-anak menjadi hangat dengan alat musik tradisional Hawaii ini.Â
Jika sebagian orang berpikir tentang bahaya gadget bagi anak-anak mereka, Emily bahkan sudah melakukan 'sesuatu' untuk menyelamatkan anak-anak.Â
"Mereka tak boleh terbawa arus zaman. Jiwa alamiah mereka untuk belajar sambil bermain gembira, perlu fasilitas dari orang tua dan lingkungannya. Kita."
"Akord sederhana ini dan senyum yang ramah saat kita menemani mereka, akan mengalahkan ratusan game dalam ipad yang membuat anak-anak terpaku dan tak paham bagaimana cara berkomunikasi. Cara mencintai sesama dan lingkungan.
Aku terpana mendengarkan. Bangga sekali bila gadis secerdas Emily Arrow...
"Oya, ada yang ingin kutanyakan padamu," katanya sambil mencubit, membuyarkan lamunanku.
"Apa kita akan begini terus?"
Hah? Apa?
"Apa tidak ada perasaan khusus untukku?"Â
Aku memandang bola matanya, berusaha menyelami sampai titik terdalam. Apakah?
"Aku mau pulang saja," katanya tiba-tiba seraya membalikkan badan.Â
"Tunggu..." aku menangkap pergelangan tangannya.
"Ambil ini, dan bacalah semuanya," aku menyerahkan sebuah buku notes dari dalam tasku.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum sangat manis, sebelum berjalan menjauh di antara rak-rak buku.
Biarlah malam ini gadis itu membaca puisi hatiku sambil tersenyum di balik buku. Besok aku akan mengungkapkannya secara langsung.Â
Joe bukan lagi pria kuper dan pemalu. Joe telah jatuh cinta padanya.Â
Aku melangkah ringan, pulang.
***
Ukulele adalah alat musik petik sejenis gitar berukuran kecil, sekitar 20 inci, dan merupakan alat musik asli Hawaii ditemukan sekitar tahun 1879 [Wikipedia]
Kota Kayu, 20 Agustus 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H