Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis di Balik Buku

18 Agustus 2022   08:00 Diperbarui: 18 Agustus 2022   08:53 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadis di Balik Buku| foto ilustrasi: Silvia Sandy/Pinterest

Semua pustakawati di sini bekerja dengan seragam tertentu dan berganti pada hari-hari yang sudah ditetapkan. Tetapi dia, setahuku baru dua bulan hilir-mudik di dalam gedung, merapikan buku-buku, sengaja tidak memakai seragam seperti yang lainnya.

Itu tidak terlalu menggangguku, sampai suatu saat aku melihatnya membaca novel yang sama dengan yang kugemari. Once Upon A Time karya Dheyamela. Apa kami berjodoh?

Ah sudahlah, aku harus membuang jauh-jauh pikiran konyol semacam itu dan kembali bekerja seperti biasa. Aku harus membatasi angan tentang seorang gadis, atau suatu saat aku akan patah hati seperti orang-orang itu. 

Bisa saja hidup seseorang sepertiku akan berakhir karena derita patah hati, bukan? Dan ini tidak boleh menimpaku.

Maka, ketika suatu pagi secara tidak sengaja aku mendengar percakapan Ibu Kepala dengan gadis itu, salah satu sisi hatiku menjerit kegirangan. Kami punya semacam kasta yang berbeda dan itu menambah keyakinan kami tidak perlu menjalin apa-apa hanya karena buku favorit yang sama. 

Gadis berkacamata itu bernama Emily, keponakan Ibu Kepala yang tentu saja penampilannya sangat berkelas. Dia memanggil keponakannya dari luar kota untuk menemaninya karena gadis itu baru saja menyelesaikan sekolah lanjutan.

Apa dia sudah mengincar kampus terbaik di sini? Dari penampilannya yang mirip kutu buku sepertinya dia cocok mengambil jurusan farmasi obat atau semacamnya. Ah, sekali lagi aku tak perlu memikirkan tentang gadis itu.

"Joe, bisa tolong antarkan buku-buku ini pada 'anak magang'? Aku sedikit alergi padanya."

Aku melihat ke bawah tangga lipat dengan perasaan kaget, ternyata ada seseorang saat aku melamun.

"Anak magang?" tanyaku setelah buru-buru turun.

"Namanya Emily, gadis di balik buku yang wajahnya hanya terlihat separuh saat kau menemukannya."

Oh, ternyata dia magang di sini? Aku segera mengangguk tanda memahami sekaligus menerima tugas yang diberikan nyonya Robert, Kepala Kepegawaian Perpustakaan.

Tapi, tadi nyonya Robert bilang dia alergi pada gadis itu. Maksudnya, tidak suka?

*

Sebuah buku kumpulan dongeng Ubur-ubur dan Ikan Kaca  berdiri tegak di antara sepasang tangan. Jari-jarinya lentik dan kulitnya putih. Aku melihat separuh wajah di balik kacamata bundar mirip milik Harry Potter, itu pasti Emily.

Ternyata selain menyukai genre thriller dan misteri, gadis itu juga suka membaca buku dongeng anak-anak. Sejujurnya aku tertarik dengannya, apakah sebaiknya aku mengajaknya berkenalan?

Pertanyaan itu seperti pengadilan yang membuat keputusanku maju-mundur. Jatuh cinta kepada seorang gadis adalah hal yang alamiah, bukan? Lalu mengapa aku takut dengan bisikan hatiku sendiri. Bukankah patah hati itu soal lain?

"Halo..." tiba-tiba saja gadis di balik buku itu sudah menatapku dan menyapa. "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya lagi.

Ternyata dia memiliki jenis suara yang renyah dan nada yang enak didengar. Tapi apakah dia menyukai pria sepertiku? Setidaknya akhir-akhir ini aku sudah berusaha  merapikan penampilanku. Bahkan seorang teman juga membantuku memilih parfum yang cocok. 

"Ayo silahkan duduk," katanya sambil menertawai sikap kikuk yang tak dapat kusembunyikan. Terus terang aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya.

Aku lalu duduk di seberang gadis itu. Meja di antara kami cukup lebar, semoga itu bisa menolongku.

"Kau juga bekerja di sini?" Ups... Aku menutup mulutku dengan jariku. Dasar bodoh!

"Maksudku, apa kau suka buku itu? Buku anak-anak..."

Gadis itu menutup buku yang dibacanya, lalu memandang bergantian antara sampul depan dan belakang.

"Aku akan menjadi tenaga pendongeng di sini, enam bulan lagi. Para orang tua dapat membawa balita mereka untuk dikenalkan pada literasi..."

Aku terpana, tak satu pun kata yang bisa kuucapkan.

"Kau tidak ingin kuliah di kota ini?" kataku akhirnya.

"Oya, kita belum berkenalan. Namaku Joe, tapi aku sudah tahu namamu. Emily, kan?"

Gadis itu tersenyum geli, sepertinya dia sangat terhibur dengan kegugupanku. Baiklah, mode serius on.

"Aku sudah dengar rencana Ibu Kepala untuk para balita. Apa kau juga suka anak-anak?"

Tiba-tiba Emily murung, seperti ada yang diingatnya tapi tak ingin dikatakannya.

"Joe, aku harus ke lantai empat. Lain kali kita ngobrol lagi yaa..."

Setelah berkata begitu gadis itu berlalu. Mungkin dia sedang sibuk, lain kali aku akan menemuinya lagi.

Aku bangkit lalu melanjutkan mendorong meja yang penuh buku-buku baru. Langkahku menjadi ringan. Mungkin ini karena aku sedang jatuh cinta. Hehehe...

***

Kota Kayu, 18 Agustus 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun