Berbuat kebajikan, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Tidak sesederhana mengeluarkan uang dari dompet lalu memasukkannya ke sebuah kotak sedekah.
Saya belajar banyak dari pasangan hidup, tentang mengikhlaskan apa yang orang lain lakukan kepada kami. Bukan sekali dua kali, entah sudah seberapa sering.
Suka memaafkan kesalahan orang lain, adalah baik. Tetapi apakah pernah terpikirkan bahwa memaafkan dari hati yang tulus, tidak selalu berjalan mulus?
Tantangan saat memaafkan orang lain
Sore itu, Pak Ibrahim, tuan rumah yang pernah mempercayakan pembangunan rumah tunggalnya kepada suami, menelepon.
Sebulan sebelumnya, terjadi pembatalan kerja antara Pak Ibrahim dan suami, perihal pembangunan tahap kedua.Â
Tuan rumah hanya menyanggupi upah sekian, yang menurut suami angka yang diberikan tidak cocok dengan hitungan di lapangan.Â
Sebenarnya suami bukan tipe orang yang haus untung besar. Ia lebih mempertimbangkan hubungan jangka panjang ke depannya.
Meskipun kerjasama tidak berlanjut, suami masih bersedia dititipi beberapa peralatan milik Pak Ibrahim, sampai yang bersangkutan datang ke lokasi.
Seperti yang saya tulis pada artikel Antara Senioritas dan Kebijaksanaan di Kantor, pada tahap awal pembangunan rumah yang dilakerjakan tahun lalu, terjadi insiden pencurian mesin air yang dilakukan bawahan suami (orang baru).Â
Tidak ingin berterus terang kepada tuan rumah, suami menyimpan masalah ini dan menetapkan pelaku diberi keringanan hanya mengganti setengah dari harga mesin air. Suami yang akan menambah sisanya.