Gadis kecil itu menatapnya tak berkedip, menyeringai, dan seolah berkata sesuatu dengan bahasa yang tidak dia pahami.
Tentu saja dia sudah menjelaskan kepada suaminya. Namun di antara keramaian saat itu, hanya dialah yang dapat melihat gadis itu.
"Anda tidak mengenalnya? Kalau begitu mungkin gadis itu adalah gelandangan yang mencoba mengemis?" tanya dr. Shania berusaha meyakinkan.
Dia menggeleng dan mengatakan dia sudah mencoba menyerahkan beberapa uang, bahkan roti yang sengaja dibawanya. Gadis aneh itu bahkan menjauhinya.
Di hari terakhir tour mereka, dia baru ingat, gadis kecil berambut hitam dan bola mata hitam itu, juga muncul saat mereka sampai di gunung untuk menyaksikan pemandangan laut yang menakjubkan.Â
Di sekitar Mausoleum (makam Romawi kuno) Lucius Munatius Plancus, gadis itu seolah sengaja membuntuti dia dan suaminya, menunggu saat yang paling tepat untuk menyampaikan pesan.
"Akhirnya dia menyampaikan pesan?" dr. Shania penasaran.
Dia mengingatnya, gadis kecil itu pernah melemparkan secarik kertas kumal yang belum dibukanya sampai sekarang.
Seminggu kemudian...
Dia, wanita itu, datang bersama suaminya, ke psikiater yang sama, dr. Shania, Sp.KJ tanpa sedu sedikitpun.
Dokter ahli itu tahu, dia merasa lebih baik karena telah melepaskan sebagian endapan di kepalanya, sebelumnya.
Dengan senyum ringan dia menyerahkan gumpalan kertas yang tampak kumal dari dalam tasnya.Â
Wajah tenangnya berubah drastis, saat kertas itu dibuka di atas meja. Dia terperangah, lalu tertawa geli sekaligus bahagia, juga mentertawakan dirinya begitu lama.
"Anda tahu sesuatu?" dr. Shania mengerutkan alisnya keheranan, sama persis dengan mimik suaminya yang memandang dari sofa.
Perlahan dia menghentikan suara tawanya, berusaha tenang dan mengatur napasnya normal seperti semula.