Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Seremenya di Desa Bunga

14 Mei 2022   08:52 Diperbarui: 21 Mei 2022   22:00 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gadis jelita tanpa sepasang mata yang dapat melihat seperti yang lainnya. Seremenya namanya. Bola matanya hitam dan indah, namun tak berfungsi sebagaimana mestinya. 

Seremenya tak pernah melihat bagaimanakah wajah mentari yang menghangati kulitnya saat dia memotong bunga.

Di musim hujan, dia dan pekerja lainnya harus berjalan kaki karena kendaraan tak diizinkan masuk. Mereka berkomentar lumpur yang basah sangatlah menjijikkan. Tapi Seremenya tak dapat membayangkan seperti apa bentuk jalan becek itu. Dia tak bisa melihatnya.

Oya, masih ada lagi. 

Dia juga tak pernah menyaksikan tumpukan sampah di salah satu sudut pasar. Mereka bilang banyak lalat mengerumuni sayur yang membusuk. Tapi lagi-lagi Seremenya tak pernah tahu bagaimana bentuk lalat.

Sebenarnya, dia bukanlah gadis yang disenangi dan mempunyai banyak kawan. Tatapan muak sering ditujukan pada dirinya dari gadis-gadis desa Bunga. Mereka iri dengan kecantikan yang dimiliki Seremenya.

Dia hanya mengangkat bahu, pertanda tak ingin ambil pusing dengan mereka. Selama dia tak mengambil milik orang lain, Seremenya tahu semua pasti akan berlalu. 

Sebenarnya inilah rahasia yang tidak mereka ketahui. Mengapa wajah Seremenya selalu memancarkan aura cantik yang tak bisa dimiliki gadis-gadis lain di desa Bunga. Gadis itu tak ingin memandang hidup dari sisi yang rumit!

Seperti pagi ini, saat dia libur bekerja. Seremenya bangun pagi-pagi sekali lalu mencuci pakaian dia dan ayahnya. Kemudian Seremenya membuat sarapan serta menyeduh teh untuk sang ayah.

Sementara itu, pekerja lainnya bersepakat akan melakukan tetirah hari ini. Mereka ingin menghabiskan sebagian gaji yang diterima kemarin. Siapa tahu di sana salah satu dari mereka bisa menemukan pangeran tampan.

Gadis seperti Seremenya, terbiasa hidup sederhana di rumahnya yang mungil. Kehilangan ibu saat melahirkannya, membuat gadis itu tak berani meminta apapun kepada Tuhan. Cukuplah dia dan ayahnya hidup tenang dan tenteram.

Mentari pagi mulai terasa hangat, ketika kakinya terus melangkah menyusuri jalan menuju atas bukit. Seremenya tahu di sini pun banyak tumbuh bunga liar, meski tentu tak seindah di kebun tempatnya bekerja.

Gadis itu hampir sampai. Dia mengetahuinya dari tarikan nafasnya yang mulai melemah dan pendek. Satu dua bulir keringat keluar dari kening serta punggungnya. Saat berjalannya tak bisa benar-benar tegak itulah, Seremenya tahu dia sudah sampai di puncaknya.

Gadis itu kemudian meluruskan kakinya, duduk di atas rumput sambil mengatur nafas. 

Udara seakan begitu halus memasuki rongga nafasnya. Diafragmanya juga mulai terisi penuh. Seremenya merasakan udara begitu bersih dan segar.

Gadis itu sering datang ke sini, saat libur bekerja atau saat pulang lebih awal. Seremenya suka menikmati kesendiriannya di atas bukit yang membatasi desa Bunga dan desa di sebelahnya. 

Dia akan menemukan kedamaian, saat menyentuh bunga-bunga dengan ujung telunjuknya, dan berusaha membayangkan seperti apakah bentuk mereka?

Di tempatnya bekerja, dia tak benar-benar menikmati bunga-bunga yang dikerjakan. Dia dan yang lainnya harus bergerak cepat karena bunga-bunga akan segera dikirim ke kota. Beberapa jenis di antaranya adalah mawar dan krisan dengan berbagai warna.

Ah, seperti apakah bunga-bunga itu jika mempunyai warna berbeda?

Ilustrasi foto: illustrators.ru
Ilustrasi foto: illustrators.ru

Sering Seremenya bertanya dalam hati. Tetapi sekali lagi, dia tak ingin memikirkannya secara rumit. Jika Sang Kuasa menetapkannya terlahir dalam keadaan buta, dia akan menerimanya.

Demikianlah gadis jelita di desa Bunga dengan kesederhanaannya. Berbagai gejolak keinginan di hatinya selalu berusaha diredam. Dia selalu memaknai apapun dengan rasa syukur. Hatinya tenang, dan wajahnya kian teduh dipandang.

Begitu pula ketika satu demi satu pekerja membagikan undangan pernikahan, Seremenya tak membiarkan hatinya diliputi kesedihan. Bahkan dia membiarkan mereka mencibirinya, cantik tapi tak ada pangeran tampan yang mau mempersuntingnya.

Dia sama sekali tak sakit hati. Dia yakin Tuhan akan memberinya yang terbaik. Seremenya tak berani meminta dalam doanya, selain dia dan sang ayah hidup tenang dan tenteram.

Tetapi hidup sungguhlah ajaib! 

Tanpa diduga, setelah satu demi satu janur diturunkan dan warga kembali melanjutkan aktivitasnya, kini giliran gadis jelita mendulang kebahagiaan. 

Pak Sudarta, duda pemilik perkebunan bunga tempatnya bekerja, melamarnya.

Bukan itu saja, Seremenya dibawa ke kota untuk menerima donor dari salah satu kerabat Pak Sudarta. 

Menurut kabar yang beredar, karena sakitnya tak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan, akhirnya beliau memberikan wasiat. Jika meninggal akan memberikan kornea mata bagi Seremenya. Beliau tahu Pak Sudarta diam-diam menyukai gadis itu.

Maka pada hari baik yang sudah ditentukan, berlangsunglah pernikahan keduanya. Bukan hanya mempelai yang senyum bahagia, tetapi seluruh warga desa Bunga juga.

Kini Seremenya tahu, seperti apa keindahan bunga-bunga yang biasa menemaninya. 

Kota Kayu, 14 Mei 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun