Sepertinya memang musim penghujan, pikirku. Belakangan hujan sering turun, bahkan setelah cucian dijemur. Khusus hari ini, malah terdengar sejak subuh. Dan baru reda pukul tiga sore.
Aku memandangi hujan dari terali jendela, siang tadi. Hujan kelihatan menggebu-gebu membasahi. Dia bermain sampai puas, dan mengunci orang-orang di dalam rumah.
Aku hanya bisa diam saja. Kecuali anak-anakku yang tetap menikmati waktu.
Hujan adalah siklus pelindung untuk bumi, menurutku. Kemarin seharian jalan-jalan aspal kepanasan. Para pekerja konstruksi seakan dipanggang tanpa aroma barbekyu. Cerek besar berisi es sirop, tandas.
Besok, mentari datang dari arah bawah lengkung bumi. Tunas-tunas kecil keluar dari rimpang buku dan cabang pohon. Dari biji-biji pohon ek, akan tumbuh anak-anak mereka. Ini adalah pertahanan hutan untuk mesin gergaji yang dibawa manusia. Mungkin sepuluh tahun lagi.
Bagaimana kalau hari yang panas tak dibalas dengan hujan? Inilah yang aku maksudkan. Akhirnya aku diam saja di depan anak-anakku yang sibuk berlarian.
Sekarang si bungsu tertidur. Tampak lelah, namun bahagia. Pipinya seolah mengundangku mencium sayang. Aku lalu merapatkan selimutnya, dan mencarikan kaos kaki favoritnya.
Dimana kaos kaki itu? Aku tak menemukan di lemari pakaiannya. Apakah terpasang di kaki boneka Teddy lagi?Â
Aku mencarinya, tapi aku hanya menemukan Teddy. Kaos kaki polkadot itu menghilang. Juga tidak ada di bawah bantalnya!
Aku diam. Jangan panik.Â
Bagaimana kalau kaos kaki lain? Dia masih punya banyak. Ada yang blaster hitam putih, ada yang merah polos, dan juga yang bergambar bunga-bunga. Atau yang bergambar bintang-bintang. Bukankah dia suka bintang?
Aku merasa tak enak hati.Â
Aku cemas dia akan bangun besok lalu menangis karena melihat kaos kakinya. Setiap anak pasti mempunyai pilihan favorit yang membuatnya bahagia, bukan? Aku paham itu.
Dulu sewaktu aku berusia tujuh tahun, aku mempunyai piring makan berbentuk potongan jeruk sunkis. Aku sangat menyukainya.
Menurutku sayur apapun yang disediakan ibu, akan terasa enak seperti saat aku makan jeruk sunkis. Aku juga sanggup menghabiskan potongan daging ikan rebus, berapapun besar ukurannya. Yang terpenting aku makan di piring favoritku. Sekat-sekat putih jeruk sunkis dan bulir oranye yang menyembul, membuatku lupa kalau daging ikan rebus lebih amis. Kata ibu ini lebih sehat.
Lalu bagaimana jika bangun tidur besok anakku menangis karena kaos kaki yang salah?Â
Jika dia memutuskan memakai kaos kaki sebelum tidur, kami bisa berdiskusi untuk memutuskan dia memakai yang lainnya saja. Kadang-kadang kaos kaki polkadotnya kehujanan atau malah masih dalam rendaman air sabun.Â
Bagaimana kalau kucoba mencari sekali lagi, pikirku.
Aku menggeledah tas kecil yang sering dipakainya, yang kadang berisi botol parfum aroma manis. Tidak kujumpai di sana.Â
Coba kucari di saku jaket yang siang tadi dipakainya. Aku ingat dia memakai topi rajut ungu, jaket pink Hello Kitty, dan kaos kaki polkadot itu. Siapa tahu sebelum masuk toilet dia membuka kaos kaki dan menyimpan kaos kakinya di saku jaket. Tidak ada!
Aku terduduk. Aku ini pelupa. Tapi sepertinya aku pernah memegang kaos kaki itu belum lama ini. Apakah saat aku merapikan semua mainan si kecil?
Aku melirik jam. Pukul satu dini hari.
Sebaiknya aku membuat secangkir kopi, mungkin itu akan memberi jalan keluar. Maksudku menyegarkan pikiranku.
Aku meninggalkan kamar si bungsu, pergi ke dapur. Udara begitu dingin. Kisi-kisi kami memang cukup lebar.
Sambil berpikir dimana gelas keramik bulat itu kusimpan, aku memasukkan tangan ke saku jaket.
Apa ini? Kaos kaki polkadot?
Kota Kayu, 21 Maret 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H