Aku mulai dilanda stres, karena setelah dua tahun tetap saja bayi yang kami harapkan belum juga hadir. Apakah tidak ada seorang bayi pun yang bersedia tinggal di rahimku?Â
Dengan linangan air mata, aku memohon dengan tulus Sang Kuasa mau menitipkan bayi yang sehat dalam rumah tangga kami. Bukankah selama ini aku menjaga setiap bayi dengan sangat baik? Aku selalu menjadi rekomendasi untuk keluarga-keluarga berada. Tak satu pasangan pun merasa kecewa atas hasil kerjaku.
Ajaib! Beberapa bulan kemudian aku dinyatakan positip hamil. Artinya Rein akan mempunyai keturunan, dan aku bisa terus menyalurkan biaya untuk adik-adikku. Tugasku sekarang untuk menjaga kandunganku.
Di pagi yang cerah, akhirnya aku melahirkan bayi kami dengan selamat. Aku sangat beruntung. Dia adalah bayi laki-laki yang tampan dan lucu. Wajahnya sangat familiar, mirip seperti salah satu bayi yang kuasuh. Ibunya Rein langsung menggendong bayi kami, dan memperlakukanku jauh lebih baik.
Rein bertanya apakah aku akan memberinya nama. Sebenarnya aku hanya menyimpan nama untuk bayi perempuan. Akhirnya urusan nama diberikan oleh ibunya Rein. Oke, tak masalah.
Ternyata menjadi ibu sungguhan sangat berbeda rasanya dari yang kulakukan selama ini. Hubungan kami sangat erat dan tak terpisahkan. Aku menjadi tak terlalu suka bila ibunya Rein membawanya ke taman dengan kereta bayi.
Untuk pertama kalinya, aku harus melanggar kata-kata ibunya Rein. Aku harus menyusul bayiku di taman. Atau setidaknya mengintip dari balik daun-daun.
Sesampainya di taman, jantungku melompat karena keributan di sana. Terjadi penculikan bayi dan ibunya Rein meraung-raung di tengah orang banyak.
*
Aku terbangun dengan keringat dingin memenuhi wajah. Ternyata hanya mimpi.
Aku segera mengambil botol air minum. Detik berikutnya saat menatap wajah baby A, aku sadar sesuatu. Bayi dalam mimpiku tadi adalah baby A. Aku tak dapat melupakan ketampanannya. Dia adalah bayiku. Aku melahirkannya dan dia tersenyum saat aku menggendongnya. Kami bersama-sama di alam mimpi.