Kita sering melihat perahu, saat berjalan-jalan di pesisir pantai. Atau mencium aroma amis kampung nelayan, dimana perahu-perahu ditambatkan, serta jala usang ditinggalkan.
Sebagai pengunjung, kita hanya berdecak kagum, atau bahkan nanar menyaksikan rumah-rumah menyedihkan.
Seperti terbuang, beberapa perahu tua pun dibiarkan membisu di bawah pohon, di atas hamparan pasir. Menatap ombak bermain, beradu kenangan semasa dahulu.
Perahu yang kokoh pernah diciptakan tangan andal. Dilepaskan untuk berburu ikan-ikan, menaklukkan laut, membantu nelayan.
Perahu itu seperti jembatan bagi nelayan, untuk menghidupi keluarganya. Seperti cangkul dan sabit bagi para petani. Seperti ijazah sarjana, bagi pencari kerja di kota.Â
Setiap hari, perahu dibawa menjauhi garis pantai. Berbekal semangat dan keberanian. Bagai kuda jantan yang dihela ke medan perang. Atau mesin pesawat yang dihidupkan, lalu lepas landas memasuki angkasa raya.
Tahun demi tahun berlalu. Ada banyak kisah suka maupun duka terjadi.
Perahu selalu setia mengantar nelayan melempar sauh. Menarik jala berisi hasil tangkapan untuk dibawa pulang.
Perahu rela menerima pukulan ombak di lambungnya. Ada kalanya perahu bukan sekedar oleng. Terkadang ia harus menghadapi terpaan hujan dan amukan angin di tengah laut.
Perahu kayu hanya punya dua pilihan: karam ditenggelamkan sang badai; atau selamat sampai ke pulau harapan.
Perahu tak menyerah. Dengan segala keyakinan kepada Sang Kuasa meminta keselamatan, sebab ia hanyalah titik di lautan luas.
Satu dua kali dayung pun patah, kalah oleh dalamnya mimpi. Insiden perahu bocor juga tak mengherankan lagi.