Saat itu, hujan sudah berhari-hari membasahi jalan Illinois yang mendadak sepi. Aktivitas warga kota, molor dari biasanya. Kecuali Marry, pustakawan itu tetap tiba tepat waktu.
Perpustakaan tempatnya bekerja tiga bulan belakangan ini, adalah yang terbesar di Peoria. Itulah alasan kenapa ia sangat bangga bisa diterima menjadi pegawai di sana. Marry tak mau dirinya dipecat, apalagi ia tak respek pada orang yang hobi ngaret. Kecuali...
Marry mendengar,
ada suara seorang laki-laki meregang nyawa!
Wajah wanita tiga puluh tahun itu mendadak pucat.
Ini bukan yang pertama. Tapi kali ini suaranya bukan berasal dari lantai atas, melainkan dari dalam toilet tak jauh dari tempatnya berdiri.
Marry melihat ke arah parkiran melalui kaca jendela, berharap kalau-kalau ada pegawai lain yang datang. Nihil. Area parkir tetap kosong.
Sama seperti kejadian sebelumnya, Marry berusaha mencari tahu apakah ada pengunjung yang tiba-tiba sekarat. Ia berjalan dengan langkah pasti mendekati pintu toilet pria. Mendorongnya perlahan, dan bersiap menemukan seseorang dengan suara tercekik!
Tapi lagi-lagi Marry harus kecewa. Tak satu pun orang di sana. Bukan pula petugas yang datang lebih awal membuka pintu gedung. Bukankah tadi Mario pamit minum kopi di kafetaria?
Wanita itu mengambil buku mini dari dalam kantong blazernya, lalu duduk di kursi.
Ia sudah mencatat berbagai kejadian di lantai dua, tempatnya bertugas. Kunjungan dari kantor Balaikota, kecelakaan kerja petugas kebersihan dinding luar gedung, maupun kejadian-kejadian bermuatan teror akhir-akhir ini.
Menurut gosip yang beredar, dirinya bukan satu-satunya orang yang mendapat teror. Ada beberapa orang lainnya yang merasa mendengar suara bisikan seperti memanggil nama mereka.
Seminggu berikutnya, saat jam istirahat siang berakhir, Marry menemui kepala pesonalia.
Keputusannya sudah bulat. Ia akan mengundurkan diri dengan rasa hormat. Marry tak tahan terus mendapat teror dari hantu-hantu itu. Konon mereka adalah arwah pejabat terdahulu yang mati penasaran.
Ia menempati kursi yang ditunjuk Nyonya Robert, kepala kepegawaian (HRD). Dari balik kaca matanya, Marry menemukan tatapan tajam wanita itu.
Sebentuk bibir merah mengerucut, memainkan permen bubble gum seraya bertanya, "Sebutkan alasanmu, walau aku bisa membacanya dari berkas ini!"
Sejenak Marry memejamkan matanya. Sedikit takut dianggap mengada-ada untuk kepentingannya pribadi. Sifat jujurnya bukanlah sebuah bukti konkret.
"Aku merasa tak tenang, Nyonya. Aku mendapatkan teror dari suara-suara misterius saat aku sedang sendirian di lmruanganku..."
Jantung Marry seakan berlarian. Keringat dingin mulai keluar dari tempatnya. Apakah ia akan dipercaya?
Sebenarnya ia ingin sekali memenuhi tugasnya dalam Festival Cahaya Peoria Timur tahunan ke-37, yang diadakan 25 November 2021 hingga 2 Januari 2022 ini. Apalagi ia sangat tertarik dengan maskot Festival prajurit kayu Folepi.
Wanita berkebangsaan Inggris itu kemudian melemparkan punggungnya ke belakang empat puluh lima derajat. Terlihat sekali ia tak tertarik dengan bualan pegawai baru di hadapannya.
"Berapa pesangon yang kau butuhkan?" tanyanya sambil menatap lurus.
Marry ingin sekali menjawab, sekalipun ia agak sedikit tersinggung.
Tiba-tiba kedua matanya membulat, dan tenggorokannya terasa kering.
Marry berusaha menelan ludah, dan mengeluarkan satu huruf saja dari mulutnya. Aneh, ia sama sekali tak bisa melakukannya!
Kali ini bukan hanya tengkuknya yang terasa dingin. Tapi juga kedua kaki dalam sepatu boot bulu-nya. Ruangan ini tiba-tiba terasa begitu dingin. Sementara sesosok lelaki gendut dan tua tiba-tiba berdiri di sisi belakang Nyonya Robert.
Siapakah dia?? Sepertinya ruangan Nyonya Robert juga dihuni hantu gentayangan itu. Hiiiiiiiy...!
SELESAI
Kota Tepian, 28 Desember 2021
Cerpen ini ditulis Ayra Amirah untuk Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI