Suriah, 2014
Seorang anak lelaki berusia sekitar enam tahun, tergopoh-gopoh memasuki kedai. Sambil menikmati makan siang, aku memperhatikan anak yang dipanggil Najem itu. Dua dus dipunggungnya, seharusnya bisa diletakkan di kereta dorong. Sungguh tidak masuk akal.
"Ia yatim piatu, Tuan," kata anak pemilik kedai.
"Ibu bapaknya anggota kelompok radikal?"Â
Gadis itu mengangguk. "Sebagian mereka diserahkan kepada lembaga bantuan. Tetapi Najem ingin hidup bebas."
Bebas. Ya, satu kata itu amat penting bagi setiap makhluk di dunia. Burung pun tak akan suka tinggal di sangkar emas.
"Berhenti, Pussie! Jangan mengambil susu milik Neyow!" anak lelaki itu menghalau seekor kucing hitam putih. Seekor kucing lainnya tampak meringkuk di bawah penampungan air. Sepertinya sedang terkena jamur di kedua telinganya.
Sebagai fotografer berita untuk daerah konflik, pemandangan mengenaskan dan tidak manusiawi sudah menjadi "makananku" beberapa tahun terakhir. Tetapi kali ini, Â hati kecilku seakan berbisik lain tentang anak laki-laki itu. Dinding sanubariku bergetar, dan terasa berbeda dari biasanya.
*
Aku baru saja selesai menyirami diriku di kamar mandi. Rasanya segar sekali. Wangi bunga yang ditinggalkan sabun yang sebenarnya hanya tersisa sedikit, masih semerbak di permukaan kulitku.
Aku menjerang air pada teko listrik. Secangkir teh akan menyempurnakan istirahatku sore ini. Beginilah cara sederhana menikmati pekerjaan yang menjauhkanku dari Alma.