Bukan karena aku seorang wanita, ketika bening kesedihan mengubah mata ini menjadi danau.Â
Aku terpaku, di bangku kayu yang tak kalah tua. Menatap dinding suram yang dulu menyaksikan dua gadis kembar nan lucu.
Hhh... itu sudah lama berlalu. Sekarang aku dan Julia menjelma dewasa, pemberani dan kuat.
Kuperhatikan Bapak fokus pada cangkir teh, mengaduk gulanya hingga larut, dengan bibir senyum.
Sudah berapa lama, aku mengabaikan bapak. Tak datang barang menjenguk. Sibuk dengan suami, anak-anak, dan pekerjaan rumah.
Jelas tampak, perabot yang tak terurus dan berantakan di ruangan itu. Sepeninggal ibu, bapak sendirian menanggung sepi, dan juga terabaikan.
Aku dan Julia, rasanya sungguh keterlaluan. Di rumahnya sendiri, bapak seakan jadi terbuang. Mirip penghuni panti jompo yang tak dibutuhkan anak-anaknya lagi.
"Lho, kenapa nangis?" tanya bapak begitu menatapku.
Terkesiap, panik, aku menyeka pipi. Gegas kuambil piring dari dapur, menyiapkan makan siang bapak. Hanya nasi bungkus yang kubeli di perjalanan tadi.
"Bapak belum lapar," tolak bapak sungguh-sungguh. Lalu meneguk teh manis yang dibuatnya. "Sebaiknya kamu pulang, kasihan cucu-cucu bapak tidak ada yang menemani..."