Tersebutlah, Pudding dan istrinya yang baru beberapa waktu tinggal di perkampungan kecil bernama Handil Kopi.Â
Di suatu sore, keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan menjelajah daerah sekitar.
Roda dua yang mereka naiki, terus menyusur jalan, membelakangi bayangan matahari. Sesekali mereka berpapasan dengan warga yang belum dikenal.Â
Sang istri yang sedang hamil, sangat menikmati perjalanan ini. Hawa sejuk dari kebun di kiri kanan jalan, seakan membebaskannya dari rasa jenuh dan lelah.
Entah pukul berapa, saat dirasa jalan semakin menyempit, dan rumah-rumah semakin jarang. Pohon-pohon menjulang semakin rapat dan gelap. Pudding dan istrinya masih ingin meneruskan perjalanan.
Setelah cukup lama, mereka pun berhenti, tak jauh dari sebuah surau kecil. Tepatnya dekat mulut gang yang dihiasi barisan tumbuhan khas. Dari papan nama jalan, terbaca huruf yang tidak asing di telinga.Â
Jalan Makam. Oh, mereka paham.Â
Rupanya mereka sudah memasuki kawasan yang disebut bendungan. Nama itu familiar, namun baru kali ini keduanya menginjakkan kaki.
Setelah meneguk air minum yang dibawa, dan yakin bahan bakar kendaraan masih cukup, mereka memutuskan lanjut sampai rasa penasaran hilang.Â
Perjalanan semakin jauh, hutan semakin rimbun dan dingin. Sang istri sadar ini adalah hari kamis menjelang malam jumat. Apakah aman, ia memasuki hutan saat sedang hamil? Jangan-jangan keberadaannya justru mengundang kedatangan makhluk halus.
Ah, ditepisnya pikiran-pikiran itu. Tapi ia harus mengingatkan sang suami supaya mereka bisa pulang sekarang saja.
"Tidak apa-apa," sahut sang suami. "Di dalam ada pintu irigasi. Belum pernah melihatnya, kan?"
Sang istri menggeleng, dan menuruti saja kata-kata suaminya, meski hatinya sedikit tercekam.
Tak lama kemudian, mereka melintasi sebuah rumah di tengah hutan. Gambarannya terlalu suram, mirip rumah hantu dalam film-film horor. Wajah sang istri pucat dan mulai berkeringat dingin.
Mengapa bisa ada anak kecil dan seekor anjing di tengah hutan begini?? Apakah yang dilihatnya ini, nyata?Â
"Kelihatannya rumah itu ditempati orang Dayak," terang sang suami seperti memahami ketakutan istrinya.
"Mereka terbiasa tinggal di hutan dan hidup terpencil. Jadi jangan takut lagi yaa. Hantu itu cuma kisah mistis. Itu buktinya. Mereka tinggal di sini sudah setua rumah tadi..."
Sang istri tidak menanggapi. Matanya tertumbuk pada rumpun tanaman di pinggir jalan. Mirip tumbuhan kunyit, tapi memiliki buah bertundun seperti salak.
Pudding merasa istrinya memeluk pinggangnya lebih erat. Tapi sang istri enggan menceritakan bola-bola putih dengan warna hitam di bagian tengah yang dilihatnya, sangat mirip dengan kumpulan biji mata yang melotot kepadanya.
Astagfirullahal adziim... Lalu dibacanya doa dalam hati. Semoga tidak ada makhluk halus yang mengganggu janin dalam kandungannya.
Nun di depan, rimbunan hutan berganti padang ilalang yang sangat luas. Kegelapan hutan seketika hilang.Â
Ternyata langit masih cukup terang. Bahkan mereka berpapasan dengan beberapa orang yang pulang dari memancing ikan. Pasti di sana ada lubang bekas galian tambang batubara yang sering disebut danau tambang oleh warga.Â
Secercah harapan pun muncul. Mereka sama sekali tak terjebak sebuah perjalanan tanpa akhir. Sang istri dapat merasakan angin segar meniup lembut ke wajahnya.Â
Sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah jaga. Sepertinya tak ada tanda kehidupan di sana. Korden jendelanya tertutup dan lampu teras sepertinya sudah lama dibiarkan menyala.
"Ini rumah penjaga pintu irigasi. Tapi sudah sebulan petugas tersebut meninggal, dan belum ada penggantinya," kata sang suami seraya memarkirkan motornya.
"Kalau ingin melihat danau tempat orang-orang itu memancing ikan, kita harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Mau?"
Sang istri mengangguk, lalu mengikuti suaminya melintasi jalan setapak.Â
Sekarang di hatinya tak ada rasa takut sedikitpun. Apalagi mendengar gemuruh air di pintu irigasi yang dibuka, semua terasa sejuk dan damai.
Di kejauhan, tampak dua buah danau yang airnya kebiruan dikelilingi tanah menggunung tanpa ditumbuhi rumput. Konon tanah bekas proyek tambang batubara memang panas.
Pudding dan istrinya menatap berkeliling dengan perasaan senang. Pemandangan ini memang langka dan luar biasa. Apalagi semburat jingga di kejauhan bersiap mempertontonkan wajah senja yang indah. Ya, meski harus melewati hutan gelap dan rumah tua lebih dulu.
SELESAI
*Cerpen ini disadur dari pengalaman penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H