Di tempatnya tinggal, nyonya Sella sering dijuluki "gadis biola" oleh warga sekitar. Meskipun sekarang usianya sudah tidak muda lagi, setiap ada yang menanyakan alamatnya, mereka selalu bilang, "Gadis biola itu tinggal di sana..."
Sebenarnya, kejayaan nyonya Sella sudah lama berlalu. Paparazi sudah tidak mengejarnya dengan ratusan blitz dan pertanyaan sebelum masuk ke mobil mewahnya. Juga tak ada asisten yang selalu mengingatkan apa saja jadwalnya hari ini.
Kecenderungan masyarakat bergeser dengan irama beat dan electronic dance music saat ini. Bisa dibayangkan kotak penikmat musik biola, menjadi semakin kecil saja. Malah ada yang bilang musik orkestra untuk kalangan orang cerdas semata.
Yang jelas, saat ini wanita cantik itu lebih banyak mengisi waktunya di kafe ibu kota dan di sekolah musik yang didirikannya. Demikian tulis surat kabar papan atas, bulan lalu.
"Sebenarnya, adikku itu sedang melawan waktu," tutur sang kakak, Margaret.
"Tapi mengapa, Nyonya?" tanyaku sambil bersiap mencatat. Sepertinya ini akan jadi berita utama hiburan, besok.
"Pernahkah kalian mendengar seseorang yang menjalani hidupnya dengan penuh semangat, padahal dia sedang sakit?"Â
Aku menatap lantai kelas sekolah musik yang sudah mulai sepi. Mereka sudah pulang sejak tadi. Bahkan kantor yayasan akan segera dikunci.
"Maksud Anda, nyonya Sella sedang menunggu takdir hidupnya?"
"Tepat. Dia sedang menunggu dengan segenap ketegarannya. Tanpa seorang suami atau anak di sisinya. Hanya seluruh biola kesayangannya saja yang menjadi temannya..."
Nyonya Margaret menatapku. Sinar matanya seperti ingin mengatakan sesuatu. Ayo, tulislah apa saja untuk menginspirasi semua orang. Mengapa kita harus takut untuk sakit atau mati. We're just human being!"