Langit gelap, menemaniku duduk sendiri. Aku sedang berusaha menyembuhkan luka yang kau timbulkan di hari yang lalu. Apakah kau tahu, sampai saat ini aku belum bisa melupakannya?
Mengganti handphone yang kau lemparkan dalam kobaran api unggun, mungkin tidak terlalu sulit, asal ada duit.Â
Tapi mengganti seluruh isi kartu memori dengan berjuta kenangan di dalamnya, kekerdilanmu itu tak akan bisa. Di sana ada foto almarhumah bunda, ada foto setiap perjalanan wisata alam, ada foto semuanya.
Hati ini bukan saja kecewa, tapi patah. Ternyata cinta pertama itu sama sekali tak indah.
Hari demi hari, kau menjelma bagai hantu, sebab aku tak lagi menginginkanmu. Aku bahkan takut berurusan dengan pencemburu sepertimu.
Kehidupan kurasakan bagai langit tanpa matahari. Apa kau tahu itu, Ariel?Â
Aku takut menjalin cinta di bangku kuliah. Aku takut menemukan jodohku, siapa pun itu.Â
Sampai di ambang usia empat puluh tahun, ada seorang pria yang menemui ayah. Ia seorang duda satu anak yang ingin melamarku. Ingin menjadi imamku.Â
Menurutmu apakah aku bisa??
Aku takut ada seseorang yang tak mempercayaiku. Aku takut pria itu mencurigai dan menuduhku. Aku takut menjadi istri yang dicemburui secara membabi buta.
Ya, walaupun semua itu belum pasti. Tapi siapa yang tahu tentang penderitaan di masa depan?
Jujur, aku sebenarnya tidak ingin menghabiskan waktu sendiri. Aku tidak ingin menua tanpa mempunyai seorang keturunan. Aku ingin membina rumah tangga seperti mereka. Tapi...
Aku tidak ingin apa yang pernah terjadi denganmu, terulang kedua kalinya bersama orang lain. Aku hanya wanita biasa. Aku pasti tak berdaya menghadapi kecemburuan kalian, para kaum adam yang keterlauan.
*
Sepuluh tahun sudah, kulawan segala ketakutan. Aku menjadi istri pria itu. Aku mempertaruhkan diriku dan hatiku. Aku ingin tahu, apa semua laki-laki itu sama denganmu?
Langit boleh menghitam di atas sana. Matahari pagi akan terus menyapa. Aku tak boleh terus-menerus tenggelam dan berputus asa. Itulah yang dikatakan ayah.
Pria itu begitu baik. Padaku dan juga semua orang. Ia adalah suami yang kuharapkan. Ia penyejuk hati ini yang lama kering.
Ariel, semoga kau bahagia di sisi Sang Pencipta. Mautmu telah menjemput lebih dulu.
Aku yakin aku sudah bahagia saat ini. Tidak lama lagi aku akan melahirkan anak kedua. Sementara anak sambung dan anak pertamaku dengan Mas Reno, begitu rukun bagai saudara kandung.
Sekarang saatnya aku membakar kenangan, bersama kepahitan di masa lalu. Biarkan aroma kesedihan terbang bersama angin, membumbung jauh dan tersesat.Â
SELESAI
______________
Cerpen ini merupakan lanjutan Misteri Bara yang Menyala
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H