Desir angin bertiup sekali lagi. Acil Aluh tak peduli. Ia menghempaskan tubuhnya pada kursi rotan di ambin (teras) rumah, menatap bulan yang sedang purnama.
Tadi siang orang di pasar sempat membicarakannya. Katanya ini adalah purnama ke tiga belas yang khusus hadir pada 22 Agustus 2021. Bulan biru namanya, walau warnanya tidak benar-benar biru.
Acil Aluh tak terlalu perduli tentang bulan biru. Baginya ini adalah purnama ke delapan belas ia gagal bertemu Halimah, putrinya semata wayang.
Sejak suaminya berpulang tiga tahun lalu, dan Halimah menikah setelah haul pertama abahnya, praktis acil Aluh hanya tinggal sendiri. Sebab Halimah diboyong sang suami ke Kota Baru, 450 km dari Samarinda.Â
Itulah mengapa ia seperti kehilangan semangat hidup, akhir-akhir ini. Jarang makan, dan sulit memejamkan mata.
Anabul berwarna hitam coklat sekonyong-konyong melompat ke pangkuan wanita muram itu. Perutnya lapar, karena acil Aluh lupa memberinya makan. Wanita itu bahkan tak makan nasi sejak pulang berjualan di pasar.
"Ju rang PPKM, Bungas... Kada kawa anakku biar handak bulik melihat kuitannya..." [katanya PPKM, anak saya tidak bisa pulang biarpun ingin menengok ibunya sendiri..."
Setitik air bening, jatuh di pipi tirusnya. Kerinduan kepada satu-satunya permata yang berharga, seperti merobek hatinya. Tapi ia bisa apa?
Sebenarnya ia sadar, orang-orang di pasar kerap memandanginya dengan rasa kasihan. Wajahnya tampak lelah, baju panjangnya tampak kotor, sedang gajinya dari bekerja di toko sayur-mayur mungkin tak terlalu besar, pikir mereka.
"E copot, e copot!!"Â wanita itu terperanjat latah. Ponsel kecil di saku dasternya tiba-tiba berdering. Ia kaget bukan main.
"Nah Bungas, siapa garang lah manilpon tangah malam kaya ini?" [Bungas, siapa kira-kira yang menghubungi tengah malam begini?]