Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Menyayangi Anak Yatim Piatu

16 Juli 2021   06:51 Diperbarui: 16 Juli 2021   06:51 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak miliki ayah dan ibu, tidaklah semudah kedengarannya. Apakah sama artinya dengan dunia yang terasa gelap tanpa karunia penglihatan? 

Entahlah.

Barangkali seperti hanyut di arus sungai, lalu pegangan pada akar pohon pun terlepas. 

Mereka terhitung minoritas, karena hidup di tengah-tengah orang yang mempunyai orang tua lengkap. 

Bukan tidak mungkin, sepanjang hidupnya ia merasakan penderitaan batin. Untuk alasan inilah kita dilarang menghardik anak yatim (QS Al Maun: 1-3).

Coba kita bertanya pada diri, apa yang terlintas di pikiran saat mendengar kata anak yatim?

Sebuah panti yang penuh anak kecil dan remaja yang memerlukan uluran tangan?

Ataukah sekelompok anak kecil di malam idul fitri yang ramai memenuhi masjid untuk menantikan para dermawan membagikan amplop putihnya?

Jangan-jangan, mereka ini seperti seekor burung yang patah sayapnya. Tidak dapat terbang jauh, bahkan sulit untuk berkicau seindah yang lain.

Bagaimana mungkin seorang yatim piatu mampu meraih pendidikan tinggi, bila urusan sandang dan pangan saja mengharap kemurahan hati manusia lainnya? 

Siapakah yang akan memberikan pendidikan akhlak, membangun karakter dan menanamkan hal-hal baik lainnya kepada anak yatim ini?

Kalau sudah begini, siapakah yang bertanggung jawab bila mereka tumbuh menjadi pribadi liar, murung ataupun apatis?

Di lingkungan yayasan atau panti, anak-anak yatim tumbuh dan berkembang dalam kebersamaan sesama yatim lainnya. Ada pengasuh yang sedikit banyak memberikan arahan dan bimbingan.

Tetapi jangan mengira, anak yatim yang diambil alih keluarga mereka, mendapat kehidupan yang lebih layak, kasih sayang dan ilmu sepantasnya. 

Bisa jadi, iya, memang ada. Maka sang yatim dapat tumbuh mandiri, ceria dan mampu meraih kesuksesan di masa dewasanya.

Saya menemukan kakak beradik yatim piatu yang sejak usia 10 dan 13 tahun, diambil alih dan dirawat sang nenek serta pamannya.

Keadaan ekonomi yang pas-pasan, hanya mengantarkan si kakak perempuan menamatkan SMU. Selanjutnya ia menerima lamaran tetangganya yang berniat memperistri anak yatim untuk mendapatkan rumah tangga yang dilimpahi keberkahan.

Sayang, cita-cita mulia ini tak didukung oleh sang istri. Sebelum genap lima bulan usia pernikahannya, ia sudah berselingkuh dengan duda beranak lima, tetangga depan rumah mereka sendiri. Berkali-kali ia minta diceraikan karena merasa kasmaran dan yakin sang duda akan membawanya terbang tinggi ke awan. Miris, bukan?

Di tengah keluarganya, bukannya paham dirinya sudah mencoreng arang di muka sang nenek, ia justru memberikan perlawanan sekuat tenaga.

Bahkan sempat mengambil gunting besi, entah untuk menganiaya diri sendiri, ataukah untuk membalas paman yang sempat menampar wajahnya. Yang jelas, dari cengkeraman tangannya yang saat itu sedang "kesetanan", gunting besi zaman bahari patah jadi dua!

Dari kisah ini, timbul pertanyaan apakah nenek dan paman tidak menyayanginya sejak lama sehingga ia tega berbuat aib?

Kalau sayang dan mendidiknya cukup baik, mengapa sang yatim tidak memiliki harkatnya sebagai istri, sebagai wanita, dan sebagai seorang muslimah?

Terkadang kehidupan berjalan sangat kompleks. Kita tidak cukup menghakimi atau mencari kambing hitam saja. 

Yang dapat kita lakukan sebagai anggota masyarakat adalah, apakah kita sebagai sesama muslim, atau bertetangga dengan anak yatim, sudah cukup berkontribusi untuk masa depan mereka?

Atau, yang kita lakukan adalah memberinya santunan sekali dalam setahun, atau di saat mendapat rezeki berlebih saja?

Inilah bedanya, mempunyai kedua orang tua dan tidak. Inilah "kegelapan" yang dialami sang yatim. Mungkin lebih gelap dari seorang tunanetra.

Bisa jadi inilah bentuk konkret tangan yang terlepas dari akar di pinggir sungai.

Nabi Muhammad saw saat melihat anak kecil menangis di suatu hari idul fitri, menyapanya dengan penuh kasih sayang. 

Baginda nabi lalu bertanya, "apa yang membuat engkau menangis?"

Anak kecil tersebut menjawab, "aku tidak mempunyai baju baru seperti yang lainnya."

Nabi yang mulia ini lalu bertanya lagi, "dimanakah orang tuamu?"

Anak kecil ini menjawab, "ayahku syahid saat berperang bersama rasulullah. Dan ibuku menikah lagi, lalu meninggalkanku."

Nabi pun berkata, "apakah engkau ridho, saya menjadi ayahmu?"

Sang yatim pun berlari ke pelukan nabi saw dengan penuh kebahagiaan.

Semoga menginspirasi kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun