Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Metamorfosa Resep dari Kawan Lama

23 Juni 2021   06:53 Diperbarui: 23 Juni 2021   11:29 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setelah dua tahun, barulah bertemu si jengkol lagi (foto: dokpri)

Jauh di mata, dekat di hati. Agaknya pepatah ini cocok untuk menggambarkan bagaimana persahabatan saya dengan gadis asal Padang Sumatera Barat, Amel.

Sebenarnya kami tak berkawan terlalu lama. Hanya sekitar tiga sampai empat bulan, sebelum kami dipisahkan oleh keadaan.

Namun, kehadiran serta support Amel saat saya berada di bawah roda pedati, dan sebaliknya, menjadikan persahabatan ini tak terlupakan.

Resep jengkol dari Padang

Salah satu yang terus nempel di kepala, adalah masakan yang pernah ia bagikan semasa dulu yaitu gulai daun singkong jengkol.

Gulai daun singkong jengkol (foto: media.suara.com)
Gulai daun singkong jengkol (foto: media.suara.com)
Gulai, adalah masakan khas daerah Padang. Sementara jengkol (Pithecollobium Jiringa), dalam bahasa Minang disebut jariang, tumbuh di lereng-lereng Bukit Barisan. Tidak heran jika masakan yang ia perkenalkan merupakan kuliner top masyarakat setempat.

Kala itu, Amel memulai dengan pertanyaan, "Mbak Ika bisa makan jengkol?"

Tanpa pikir panjang, saya pun menjawab, "bisa, Mel, tapi sudah lama ngga ketemu jengkol..."

Hmm... kata orang, tak baik menolak rezeki, bukan? Apalagi suami juga suka makanan "rakyat pinggiran" ini.

Melihat dari sejarahnya, istilah ini muncul karena jengkol kurang populer di kalangan masyarakat Jawa. Hanya populer di kalangan masyarakat Betawi, Pasundan dan Sumatera. 

Mulanya, kata sejarawan Jakarta JJ Rizal, jengkol dianggap sebagai makanan rakyat pinggiran, orang miskin dan dianggap sebagai makanan "sampah". Sebab mengkonsumsi jenis polong-polongan ini, dapat menimbulkan bau pada pernafasan serta sisa pencernaan termasuk urine.

Orang yang memakannya, biasanya menjadi bahan ledekan dan cemoohan. Itulah mengapa sampai dikatakan demikian.

Sampai pada suatu ketika, harga jengkol jauh melonjak. Dari dua puluh lima ribu rupiah per kilogram, naik menjadi lima puluh ribu rupiah per kilogram, melebihi harga daging ayam serta bahan sembako lainnya. Selengkapnya dapat dibaca di Asal-usul Jengkol Jadi Makanan Rakyat

Padahal jengkol ciptaan Allah swt juga bermanfaat untuk manusia, antara lain sebagai lauk-pauk, sumber karbohidrat, obat sakit diare, serta bahan pembuat shampo.

Di kampung saya, Samarinda, oleh suku Banjar jengkol yang disebut jaring, diolah dengan cara direbus sampai lembut. Dibuatkan tahi lala yang berasal dari santan kental yang dimasak lama dengan tambahan sedikit garam. 

Cara menikmatinya, beberapa keping jengkol ditata di piring, lalu disiram saus santan (tahi lala) diberi sedikit lada halus. Semasa kecil saya menikmatinya dengan membeli per pincuk (porsi bungkus daun). Namun sungguh beruntung baru-baru ini mendapat porsi sepiring dari teman di WAG. 

Setelah dua tahun, barulah bertemu si jengkol lagi (foto: dokpri)
Setelah dua tahun, barulah bertemu si jengkol lagi (foto: dokpri)

Namun di Padang lain lagi.

"Ini enak, Mbak. Mbak Ika pasti suka masakan Amel. Pasti ketagihan..." kata Amel lagi, waktu itu.

Begitulah, perantau macam Amel, bukan saja cerdas, tapi juga ramah dan baik. 

Dan sebagai partner pengelola warung Padang asli Pariaman yang berada di Samarinda, cita rasa masakan Amel dan Bang Adel, tidak diragukan lagi.

Metamorfosa resep masakan

Belum lama ini, untuk mengobati kerinduan saya pada Amel, saya sengaja memetik daun singkong muda di halaman belakang. 

Berhubung jengkol (di Samarinda, suku Banjar menyebutnya jaring) jarang ditemukan di lapak pasar tradisional, saya menggantinya dengan sayur pare yang terkenal pahit.

Tapi tenang saja, setelah "bermain" bersama bumbu kari dan santan kelapa murni, rasanya akan berubah luar biasa gurih dan sedap. Yummy!

Kedua, selain mengganti bahan jengkol dengan sayur pare, saya juga mengubah cara mengolahnya. Yaitu, bumbu halus sengaja saya tumis dengan tambahan sedikit minyak kelapa.

Sementara yang saya ketahui, bumbu dan rempah lain untuk masak gulai padang, langsung dimasukkan pada santan encer.

Ketiga, saya mengganti bumbu gulai dengan  bumbu kari santan, untuk membuat cita rasa yang lebih flat. Maksud saya, minus sereh dan lain-lain.

Tekstur daun singkong, karena saya juga menyukainya, sengaja mengikut resep asli. Yaitu berupa lembaran dan tidak dipotong-potong layaknya saya masak sayur daun singkong.

Untuk santannya, saya memilih satu butir kelapa tua dengan kulit ari berwarna coklat gelap. 

Kelapa tua, tekstur padat dan kulit ari coklat gelap / foto: rumahislami.net
Kelapa tua, tekstur padat dan kulit ari coklat gelap / foto: rumahislami.net

Perasan pertama, hanya saya tambah dua gelas air sebagai santan kental. Perasan kedua, juga dua gelas air sebagai santan encer yang akan dimasak bersama irisan pare.

Sayur pare, pilih yang masih segar dengan ukuran sedang (200 gr). Iris tipis lalu cuci bersih. Oya, saya tidak meremas dengan garam kandungan air/getah pada daging pare, justru berkhasiat sebagai anti malaria. Baik pula untuk saya yang sensitif cuaca dingin. 

Irisan pare (foto: dokpri)
Irisan pare (foto: dokpri)
Cara memasak santan daun singkong pare ala saya adalah:
  • Tumis bumbu halus berupa bawang merah, bawang putih, ketumbar, kemiri, jinten, cabe keriting dan garam
  • Masukkan irisan pare yang telah dicuci beraih. Aduk sebentar
  • Masukkan santan encer untuk mematangkan pare
  • Masukkan daun singkong muda yang sebelumnya sudah dicuci bersih dan direbus dengan tambahan garam
  • Aduk dan biarkan bumbu meresap
  • Masukkan santan kental, aduk dan matikan api sebelum santan pecah

Mudah, bukan? Untuk bahan satu ikat daun singkong muda, 200 gr pare dan satu butir kelapa tua, di keluarga kami habis untuk makan siang dan makan malam. Saya, suami dan dua anak yang lebih besar, suka sekali. Gurih santan, dan lembutnya rebusan daun singkong, hanya kami padukan dengan nasi putih dan ikan goreng. Alhamdulillah semua lahap makan.

Mengkonsumsi sayur hijau yang mengandung banyak serat seperti daun singkong, bayam maupun sawi, memang saya ajarkan kepada anak-anak sejak mereka masih kecil. Sebab bahan alami seperti inilah yang dibutuhkan untuk menunjang kesehatan tubuh secara keseluruhan. Kalau menggunakan kalimat saya membujuk mereka sewaktu kecil, saya katakan untuk memanjangkan rambut, sebab ketiganya perempuan.

Dan karena si kecil Ayra (4 tahun) suka bermain dengan ponsel, saya tambahkan dengan mengatakan untuk membuat mata sehat, terang, tidak lelah bermain ponsel. Iya, meski mereka mempunyai pembatasan waktu tidak boleh melebihi dua jam per hari. 

Jadi bukan karena masa pandemi saja, yang menuntut kita menjaga imunitas tubuh. Tentu diimbangi dengan mengkonsumsi makanan sehat lainnya seperti buah, ikan, tahu tempe dan cukup minum air putih. Sebisanya menghindari mengkonsumsi daging ayam potong, makanan kemasan atau berpengawet lainnya seperti minuman bersoda.

Resep dari kawan yang saya modufikasi (foto: dokpri)
Resep dari kawan yang saya modufikasi (foto: dokpri)
Demikianlah, menu sayur yang senantiasa kami nikmati dengan resep berbeda-beda agar tidak bosan.

Sebuah resep dari Amel, kawan lama saya, mengapa tidak bila saya rubah sesuai kondisi dan selera. Begitu pula dengan Sahabat Kompasianer.

Salam hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun