Mulanya, kata sejarawan Jakarta JJ Rizal, jengkol dianggap sebagai makanan rakyat pinggiran, orang miskin dan dianggap sebagai makanan "sampah". Sebab mengkonsumsi jenis polong-polongan ini, dapat menimbulkan bau pada pernafasan serta sisa pencernaan termasuk urine.
Orang yang memakannya, biasanya menjadi bahan ledekan dan cemoohan. Itulah mengapa sampai dikatakan demikian.
Sampai pada suatu ketika, harga jengkol jauh melonjak. Dari dua puluh lima ribu rupiah per kilogram, naik menjadi lima puluh ribu rupiah per kilogram, melebihi harga daging ayam serta bahan sembako lainnya. Selengkapnya dapat dibaca di Asal-usul Jengkol Jadi Makanan Rakyat
Padahal jengkol ciptaan Allah swt juga bermanfaat untuk manusia, antara lain sebagai lauk-pauk, sumber karbohidrat, obat sakit diare, serta bahan pembuat shampo.
Di kampung saya, Samarinda, oleh suku Banjar jengkol yang disebut jaring, diolah dengan cara direbus sampai lembut. Dibuatkan tahi lala yang berasal dari santan kental yang dimasak lama dengan tambahan sedikit garam.Â
Cara menikmatinya, beberapa keping jengkol ditata di piring, lalu disiram saus santan (tahi lala) diberi sedikit lada halus. Semasa kecil saya menikmatinya dengan membeli per pincuk (porsi bungkus daun). Namun sungguh beruntung baru-baru ini mendapat porsi sepiring dari teman di WAG.Â
Namun di Padang lain lagi.
"Ini enak, Mbak. Mbak Ika pasti suka masakan Amel. Pasti ketagihan..." kata Amel lagi, waktu itu.
Begitulah, perantau macam Amel, bukan saja cerdas, tapi juga ramah dan baik.Â
Dan sebagai partner pengelola warung Padang asli Pariaman yang berada di Samarinda, cita rasa masakan Amel dan Bang Adel, tidak diragukan lagi.