Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Idah, Si Gadis Penjual Ikan

18 Juni 2021   09:08 Diperbarui: 18 Juni 2021   09:17 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gadis penjual ikan (foto: iluminasi.com)

Duduk di lantai beralas tikar plastik, aku tak berani memainkan ponsel. Kutunggu saja abah keluar menemuiku.

Tak ada yang menarik dari ruang tamu ini. Hanya beberapa foto yang dipasang berjauhan, di dinding. Kuamati yang satu foto anak perempuan berseragam putih. Sepertinya itu pas foto Idah semasa SD. 

Lalu ada foto sepasang mempelai di pelaminan adat Banjar. Mereka mengenakan pakaian kuning. Hiasan kepala mempelai wanita, kiri dan kanan digantungi roncean bunga melati. Ujung-ujung jari tangan dimerahi daun pacar. Hmm... tampaknya itu pernikahan kakak Idah yang pernah diceritakan.

Untunglah mamak menyuguhi sepiring nasi kuning dan teh hambar. Setidaknya bisa mengatasi rasa grogi yang langka kurasakan.

Ternyata memang istimewa sekali. Nasinya pulen karena beras ditambah lakatan (ketan) saat akan dimasak. Aroma pandan menguar menambah selera. Ada tambahan serundeng kelapa yang gurih. Serta lauk khas bumbu bali ikan haruan (ikan gabus). Masakan mamak Idah, atau calon bumer, luar biasa enak. Kuliner khas Banjar yang banyak dijual sebagai sarapan pagi.

Ternyata kegelisahanku semalam, adalah pertanda. Betapapun aku berusaha menjadi lelaki mapan, bersikap sopan, tak memuluskan cinta yang kurasakan.

"Kami berterima kasih, sampiyan (anda) sudah mau repot datang ke rumah. Sudah menjadi teman anak kami, Idah. Bahkan ingin melamar dan menjadikan Idah istri..."

Sesaat kutatap lelaki di hadapanku. Kerut-kerut di wajahnya, bukti kerja kerasnya selama ini sebagai petani gula merah. Mulai dari memanjat pohon aren, mengambil air sadapan, sampai menjerangnya di atas tungku kayu bakar. Wajan besar yang disebut kawah, menjadi saksi bagaimana ia membesarkan Idah dan kedua saudaranya.

"Terus terang kami belum bisa, mengijinkan, anak kami dinikahi perantau macam sampiyan. Tolong sampiyan jangan tersinggung..."

Bagai petir di siang bolong. Apa yang kudengar saat aku datang ke rumah mereka yang sederhana. Sebuah prinsip yang tak mau anaknya dibawa pergi meninggalkan kampung halaman.

Hujan bulan Juni menderu di atap rumah. Hawa dingin menggigit kedua kaki. Dari balik jendela kaca, kulihat jari-jari hujan berjatuhan menyentuh tanah. Menari bagai anak kecil yang bermain riang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun