Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Idah, Si Gadis Penjual Ikan

18 Juni 2021   09:08 Diperbarui: 18 Juni 2021   09:17 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gadis penjual ikan (foto: iluminasi.com)

Memang, sesampainya di depan halaman rumah Idah, aku agak tertegun. Aku seperti disuguhi kehidupan sederhana, dari deretan rumah Idah dan tetangga kiri kanannya. Rumah-rumah kayu dengan cat yang sudah lama tidak diganti. Halamannya pun tak bisa dikatakan asri, karena tidak ditanami bunga-bunga seperti dalam bayanganku.

Abah Idah, ternyata sama sekali tidak galak. Kuperkirakan usianya sudah lima puluhan. Mamak Idah, berjualan nasi kuning di pondok kecil di depan rumah.

"Kau ini lucu, pake kaget segala dengan mereka," tukas Isye saat kuceritakan pengalamanku.

"Kau kan tahu, Idah-mu itu gadis penjual ikan di pinggir jalan. Dia bekerja untuk meringankan beban kedua orang tuanya. Apalagi dia masih punya seorang adik..." Isye mengomel panjang lebar. 

Demi cinta, gunung kan kudaki, laut pun kuseberangi. Demikian prinsip orang bercinta. Rintangan apapun akan dihadapi. Begitu pula aku.

Idah dan keluarganya tidak salah. Dan memang tidak ada yang salah dengan cinta. Apalagi sejak awal aku mengenal Idah sebagai gadis sederhana. Aku jatuh cinta pada prinsipnya. Tidak malu berjualan di pinggir jalan. Berhadapan dengan bau amis setiap hari. Padahal menurutku ia bisa meraih lebih.

Aku terus berhubungan dengan gadis itu. Aku rutin menemuinya saat jam istirahat makan siang. Kalaupun banyak pekerjaan, aku pasti menyempatkan video call dengannya. Hari-hariku jadi penuh semangat. Aku membayangkan jika Idah menjadi ibu dari anak-anak kami. Ia pasti sangat penyayang dan sabar.

Ya, sekarang gadis itu sudah mulai berani menatap ke wajahku. Ia tidak malu-malu lagi seperti dulu. Cara berbicaranya pun, sudah mulai menyesuaikan. Rupanya ia sudah tak menganggapku seperti orang asing. Ah, Idah pasti bahagia bila kuajak ke Jakarta. Itu kalau aku ditarik kembali. Kalau masih di sini, biarlah kami menikmati indahnya berumah tangga di kota tepian. Menikmati indahnya masjid Islamic di kejauhan. Merasakan sepoy angin di tepian sungai Mahakam.

**

Awal bulan Juni, aku kembali menemui abah dan mamak Idah. Niatku ingin berbicara serius tentang putri mereka. Aku sampai tak bisa tidur, semalam. Takut sekaligus gugup.

Matahari bersinar cerah. Saat aku datang, pondok kecil di depan rumah Idah sudah sepi. Sepertinya mamak punya pelanggan tetap. Tak perlu lama-lama menggelar dagangan. Langsung ludes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun