Hari sabtu, ialah libur akhir pekan bagi sebagian orang. Mereka ingin menikmati sarapan di rumah dengan secangkir teh atau kopi, bersama anggota keluarga yang lain.
Mungkin itulah sebabnya, sejak pagi-pagi sekali dan burung-burung masih ramai berkicau, warung kopi Dika sudah ramai dengan pembeli.
Saya menunda sebentar, sebab asyik membaca laman Kompasiana. Bagi saya ini lebih dari seperti membaca koran pagi. Merupakan booster semangat tersendiri.
Setelah menyelesaikan tiga judul artikel, akhirnya pergi ke warung langganan diiringi hangatnya matahari pagi. Iya, saya paling suka suasana pagi. Apalagi sedang cerah seperti sekarang. Bunga-bunga liar bermekaran di tepi-tepi jalan.
Saya tersentak, di warung kopi yang juga menyediakan menu nasi kuning, nasi pecel dan aneka gorengan ini, si empunya warung menyambut saya dengan sebuah curhat. Bentuknya sebuah omelan yang sebenarnya ditujukan untuk sang kakak.
Saya menanggapi dengan tawa saja, karena kami memang akrab dan sering bercanda. Apalagi sang kakak juga berada di situ. Setiap pagi ia diantar oleh suami untuk membantu adiknya mencari nafkah. Konon ia sebenarnya tak mendapat gaji atau bayaran sepeser pun. Adiknya seorang janda beranak satu dan mengontrak rumah petak. Hmm, pantaslah.
Ternyata yang diributkan adalah sang kakak datang terlambat dari biasanya. Pukul tujuh ia baru datang sedangkan adiknya kewalahan sejak tadi.
"Dua pembeli pulang loh Bu, karena cari ote-ote (bahasa Indonesia: bakwan) tapi belum digoreng!"
"Di rumah kacau tadi Bu, anakku yang kecil menangis..." sahut sang kakak.
"Tak apalah, itu namanya bukan rezeki," saya menengahi.
Tapi dengan ekspresi tertawa dan nada bercanda, tetap saja pemilik warung menyindir dan menyalahkan kakak perempuannya.
Sebenarnya sedang ada pelanggan lelaki yang minum kopi dan makan di sana, serta dua orang lain yang mengantri. Tapi sambil tangannya bergerak melayani, ia terus saja berkicau mengalahkan burung-burung di ranting pohon jambu.
Sahabat Pembaca, ilustrasi di atas mungkin pernah pula Anda jumpai.
Sebenarnya, apa alasan pemilik warung saat kehilangan omset sepuluh-dua puluh ribu rupiah untuk mengeluh?
Seorang muslimah apalagi, seharusnya tahu menilai rezeki itu bentuknya apa saja. Dan bila pun sudah terkumpul, bisa saja Allah swt mengambilnya kembali. Apakah pantas kita menyesali uang yang tidak sampai ke tangan kita?
Izinkan saya mengutip ayat al qur'an sebagai pedoman umat muslim.
وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu (At Thalaq:3)
Kemudian ayat lain lagi,
أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya (bagi siapa yang Dia kehendaki)? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. – (Az-Zumar: 52)
Saya teringat tulisan Kompasianer Ozy Alandika di sini. Pemilik warung nasi padang siang itu tengah tertidur. Dibangunkan, tidak juga bangun. Akhirnya Pak Ozy dan pelanggan lain yang kemudian datang, mengambil sendiri nasi dan lauk-pauk sambil menunggu pemilik warung bangun. Bukankah rezeki itu Allah telah mengatur dan tidak akan pernah tertukar?
Apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Perputaran ekonomi tidak berjalan seperti yang diharapkan. Banyak rintangan menggapai rezeki akibat kebijakan yang diberlakukan bahkan di semua negara.
Justru kita harus bijak dan mengambil hikmah. Mencari rezeki secara halal, disertai kerja keras dan tawakal.
Berapa banyak pengusaha yang gulung tikar, bahkan hypermarket ternama di Jakarta. Baru saja saya membaca kabar ini semalam dari Kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang di sini. Dan saya cukup terkejut.
Bisnis, pasti mengalami pasang surut dan tantangannya sendiri. Mungkin saja semua itu untuk menguji keimanan umat manusia. Apalagi sekedar warung kopi di tengah pemukiman. Siapapun kita, perlu banyak bersabar dan bersyukur. Tulisan ini, sebagai pengingat diri saya.
Salam hangat, Ayra Amirah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H