Tidak peduli ia pintar atau tidak, sepanjang bisa memberikan warna yang positif, setia dan dapat diandalkan, pasti ia akan menjadi sahabat kita.
Hal yang menyedihkan adalah saat persahabatan baru saja berjalan, terasa indah dengan ketulusan dan dukungan, lalu sahabat itu "menghilang". Kabarnya tak lagi terdengar, batang hidungnya tak kelihatan, jejak kakinya pun seakan terhapus. Pernah merasakan hal ini?
Ternyata membuang seseorang yang lama ada dalam kehidupan kita, bisa sangat mudah. Saya sendiri jika mendapati sahabat yang berkali-kali melampaui prinsip hidup saya, dengan mudahnya saya menjauhi dan mencoret namanya.
Prinsip hidup yang saya maksud adalah perbuatan yang mencoreng diri seorang muslimah, atau mencoreng martabat wanita, atau mencoreng citra seorang ibu. Hmm, gitu banget yaa.
Sebenarnya, sahabat itu bukan sesuatu yang sifatnya abadi. Di tengah jalan, mungkin saja seseorang yang paling kita percaya akan berubah menjadi pengkhianat, menggunting dalam lipatan, atau menikam dari belakang.
Manusiawi saja, karena godaan itu ada dimana-mana. Rasa setia bisa berubah menjadi iri hati, empati jadi benci, rasa percaya jadi prasangka, dan seterusnya.
Jika konflik ingin diselesaikan, keduanya lebih dulu perlu menyadari dan introspeksi. Tentunya dengan duduk bersama dan berkepala dingin. Jika tidak, akan tetap alot bahkan beraroma permusuhan.
Bagaimana dengan sahabat yang hilang seperti ditelan bumi?
Daripada kita "menderita" akibat rasa kehilangan tersebut, bagaimana kalau kita yang lebih dulu menghubungi? Baik melalui kontak seluler, whatsApp, email maupun akun media sosialnya. Jika beruntung, kita belum kena blokir. Lumayan lah buat memulai komunikasi kembali.
Sebagai manusia, tidak tertutup kemungkinan kita telah berbuat salah yang tak disengaja. Atau sahabat yang selalu ada untuk kita itu, merasa tersisih setelah hidup kita mulai bersinar, dan sebagainya. Ironis yaa. Hik!