Siapa di antara kita yang tak punya sahabat? Entah banyak, atau sedikit, kita pasti punya sahabat, bukan?
Sahabat di masa sekolah, adalah karib yang menyertai ke mana pun kita pergi. Ke kantin, perpustakaan, ruang guru bahkan ke toilet.
Kebiasaan saling terbuka, saling curhat dan saling dukung untuk hal-hal baik. Makan bersama, minum segelas berdua, pinjam-pinjaman baju, dan hampir tak ada rahasia antara kita dengannya. Sampai-sampai kita berpikir persahabatan itu akan abadi sampai selamanya.
Nyatanya, setelah kelulusan SMU kita mencari kampus dan jurusan masing-masing yang diminati. Atau kalau pun masih satu lokal di perguruan tinggi, pada akhirnya kita dipisahkan jalan hidup yang berbeda.
Setelah wisuda dan mendapat pekerjaan yang berbeda, atau setelah menemukan jodoh, menikah lalu mengikuti pasangan masing-masing, toh perpisahan dengan sahabat menjadi tak terelakkan.
Tenang. Kita masih bisa mendapat sahabat di masa sekarang, sekalipun tak mengenakkan saat tahu persahabatan yang dulu tidaklah abadi adanya.
Di tempat kerja, kita bisa menemukan sahabat yang baru. Mungkin karakternya sama sekali berbeda dengan sahabat yang dulu yang telah hilang. Tapi mungkin saja ia akan membawa kemajuan dan kebaikan. Sebab bersahabat di usia 30-an bukan untuk jejeritan, lucu-lucuan, atau sekedar have fun.Â
Sahabat dari komunitas atau kegiatan yang kita ikuti, mungkin saja bukan? Kelompok pecinta alam, relawan aksi sosial, olahraga, misalnya. Atau sahabat dari hobi yang sama: menyanyi, memasak, fotografi, menulis apalagi. Ehem.
Syarat mendapat sahabat sebenarnya mudah. Asalkan kita dapat berinteraksi, lancar berkomunikasi dan punya kecocokan dengannya.
Sekalipun saat ini smartphone menjadi sahabat yang tak terlupakan, kita masih tetap membutuhkan sahabat dalam sosok individu. Yang tidak hanya ada dalam suka, duka, tetapi juga mempunyai rasa dan semangat yang bisa ditularkan.Â