Sahabat Kompasianer, mohon maaf jika judul di atas membuat kurang nyaman.Â
Seringkali, untuk kepentingan perusahaan serta dedikasi yang begitu tinggi, seorang karyawan atau pegawai pemerintah, mengurungkan niatnya untuk menggunakan hak cuti yang dimiliki.
Semakin lama ia mengabdi, semakin besar pula rasa cinta dan loyalitas yang mengalahkan kepentingan pribadi. Akhirnya, ia terus bekerja sepanjang tahun dan hanya mengandalkan libur di hari minggu untuk beristirahat dan menyelesaikan urusan yang lain.
Lebih-lebih tenaga kesehatan serta karyawan bagian penyiaran publik. Tanggal merah dan hari besar sekalipun ia tetap bekerja. Mereka melakukannya dengan kesadaran akan tanggung jawab. Mulia sekali, sampai saya pun pantas iri.
Di sisi lain, bukankah kemampuan manusia mempunyai batasan tertentu? Jika terlalu lelah, mekanisme tubuh justru akan menurun dan memicu adanya penyakit. Kalau dipikir-pikir, robot dan mesin-mesin saja mempunyai tombol off. Gunanya untuk membatasi atau menghentikan pemakaian, bukan?
Ditinjau dari sudut pandang tempat mereka bekerja, cuti merupakan hak yang dimiliki karyawan di luar gaji dan bonus. Mengingat setiap diri mungkin saja memerlukan jeda untuk kepentingan seperti berikut:
1. Istirahat atau refreshing
Bekerja selama sepekan, tidak sama rasanya dengan bekerja selama setahun. Setelah bekerja senin sampai sabtu, yang dibutuhkan hanyalah waktu sehari untuk melemaskan punggung atau beban di kepala.
Namun setelah dijalani selama setahun, timbul perasaan jenuh, bosan dan kurang semangat. Izin kerja selama dua minggu akan memberi kesempatan untuk pergi berlibur guna melonggarkan pikiran.
2. Meningkatkan produktifitas
Tentu dengan beban kejenuhan yang berkurang, pikiran akan jauh lebih fresh, konsentrasi meningkat, dan mood membaik. Dengan sendirinya produktifitas kerja dapat ditingkatkan. Hasil kerja jauh lebih optimal. Percaya, bukan?
3. Timbul ide baru yang bermanfaat
Pada gilirannya, suasana hati yang nyaman serta tubuh yang rileks, akan membuka pikiran dan memunculkan ide-ide baru yang segar dan bermanfaat. Mungkin saja akan membawa kebaikan bagi peningkatan hasil kinerja karyawan. Juga akan menjauhkan dari stres, pastinya.
4. Mempunyai lebih banyak waktu
Tidak dipungkiri, mencintai diri sendiri adalah wujud dari rasa syukur. Antara lain dengan memberi kesempatan pada diri sendiri untuk bersantai lebih ekstra. Termasuk menyenangkan anggota keluarga dengan meningkatkan kualitas pertemuan (quality time)
Atau, kesempatan ini juga dapat digunakan untuk menjalin silaturahmi dengan keluarga dan kerabat. Biasanya bertepatan dengan momen mudik lebaran.
Nah, jika sudah sepakat dan berpikir untuk mengambil cuti, ketahui pula etika cuti atau izin kerja yang baik. Tujuannya, bos atau pimpinan perusahaan dapat menerima pengajuan cuti atau izin kerja dengan mempertimbangkan sekalipun posisi kita digantikan rekan lain, atau tetap kosong, mobilitas kantor atau perusahaan, dapat tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Etika tersebut antara lain:
1. Mengajukan permohonan cuti tidak secara mendadak. Â Biasanya waktu yang ditentukan adalah dua minggu sebelum tanggal dimaksud. Tujuannya agar segala sesuatunya dapat diatur sedemikian rupa. Persiapan pun dapat dilakukan sebelumnya.
2. Menyelesaikan tanggung jawab utama, agar tidak menyulitkan rekan pengganti. Tugas-tugas lain dikerjakan secara bertahap agar tidak menumpuk saat karyawan menghabiskan masa cutinya.
3. Membersihkan ruangan dan membereskan berkas/file kantor. Ketika karyawan masuk kerja kembali, tidak menemukan kondisi berantakan yang akan menimbulkan stres baru.
4. Meninggalkan catatan password perangkat kantor. Hal ini jika karyawan cuti digantikan rekannya yang lain. Suatu saat ia masuk kerja kembali, dapat membuat kode password baru, tentunya.
5. Menitipkan nomor kontak yang dapat dihubungi jika sewaktu-waktu diperlukan.Â
6. Penting untuk memilih tanggal yang sesuai dengan ritme perusahaan. Artinya di saat perusahaan membutuhkan karyawan dengan skill bersangkutan, hendaknya karyawan tersebut dapat membaca situasi serta menyesuaikan diri.
Respon rekan kerja dan atasan
Inilah antara lain yang mengilhami sebagian karyawan untuk membiarkan hak cutinya menguap begitu saja. Khawatir ketiadaannya selama masa cuti akan menyulitkan dan membebani karyawan lain.
Atau atasan yang mengajukan banyak pertanyaan sebelum positip memberikan izin. Sebaiknya hal ini tidak menimbulkan ketakutan. Cukup memberikan alasan secara jujur dan bertanggung jawab.
harga diri setiap kita. Apalagi jika bekerja dengan tujuan menafkahi keluarga tercinta.
Sahabat Kompasianer, bekerja merupakan bagian dariJangan sampai dengan sibuk bekerja, kita menjadi abai pada kesehatan; atau melupakan kehangatan keluarga itu sendiri.
Akhirnya, selamat bekerja dan tetap semangat!
Salam hangat, Ayra Amirah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H