Tetapi memahami dan menghargai jiwa, rasa, pengalaman serta keinginan remaja, tidak semua orang tua memahaminya. Apalagi belum menjadi orang tua sama sekali.
Paling takut menjadi subjektif
Itu adalah saya.Â
Sejak mempunyai anak pertama sampai ketiga, saya paling menjaga kesan subjektif atau membela anak sendiri.
Ini adalah sikap mental. Kebanyakan, masyarakat kita berani "berperang" dengan orang lain, atau pihak sekolah, untuk membela anaknya. Dengan keyakinan anaknya sudah dididik pula di rumah, tidak pernah macam-macam, patuh dan penurut.
Untuk menjernihkan hati, menghadapi permasalahan si sulung, saya mengingat -ingat dan menambah referensi di kepala.Â
Siapa remaja itu?
Apa karaktetistik remaja?
Apa yang dibutuhkan remaja?
Beberapa lama ini, saya terus belajar parenting remaja. Saya mencoba menerapkan beberapa hal seperti: menghargai privasi, memberikan layanan, memberikan dukungan, pengawasan serta tentunya apresiasi.
Sebelum saya memberikan teguran atau menjatuhkan hukuman kepada ketiga anak saya, perlu terlebih dulu menimbang: besar kesalahan, penyebab kesalahan, dampak kesalahan, berapa usia, apa karakter anak.
Jadi, menghadapi dan mendampingi anak-anak, bukan dengan sim salabim. Bukan dengan sebelah mata atau setengah hati. Orang tua perlu memaksimalkan dan menerapkan berbagai metode yang sesuai.
Dasar saya belajar dan menerapkan hal-hal ini kepada anak adalah pesan dari suami. Bahwa anak akan memberikan pula, apa yang sudah kita berikan. Perlakukan dengan lembut, agar kelak anak-anak juga bersikap lembut kepada orang tua.
Demikian Sahabat Kompasianer, semoga Allah swt memudahkan kita, aamiin.